SILSILAH TAROMBO MARGA SIREGAR.

Pemuda dengan postkolonial


Image result for pemuda



Kaum muda Indonesia adalah masa depan bangsa. Karena itu, setiap pemuda Indonesia, baik yang masih berstatus sebagai pelajar, mahasiswa, ataupun yang sudah menyelesaikan pendidikannya adalah aktor-aktor penting yang sangat diandalkan untuk mewujudkan cita-cita pencerahan kehidupan bangsa kita di masa depan. The founding leaders Indonesia telah meletakkan dasar-dasar dan tujuan kebangsaan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945[1].
Kita mendirikan negara Republik Indonesia untuk maksud melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita tersebut, bangsa kita telah pula bersepakat membangun kemerdekaan kebangsaan dalam susunan organisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum yang bersifat demokratis (democratische rechtsstaat) dan sebagai Negara Demokrasi konstitutional (constitutional democracy) berdasarkan Pancasila.
Dalam upaya mewujudkan cita-cita itu, tentu banyak permasalahan, tantangan, hambatan, rintangan, dan bahkan ancaman yang harus dihadapi. Masalah-masalah yang harus kita hadapi itu beraneka ragam corak dan dimensinya. Banyak masalah yang timbul sebagai warisan masa lalu, banyak pula masalah-masalah baru yang terjadi sekarang ataupun yang akan datang dari masa depan kita. Dalam menghadapi beraneka persoalan tersebut, selalu ada kecemasan, kekhawatiran, atau bahkan ketakutan-ketakutan sebagai akibat kealfaan atau kesalahan yang kita lakukan atau sebagai akibat hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan kita, seperti karena terjadinya bencana alam atau karena terjadinya krisis keuangan di negara lain yang berpengaruh terhadap perekonomian kita di dalam negeri.
Dalam perjalanan bangsa kita selama 100 tahun terakhir sejak kebangkitan nasional, selama 87 tahun terakhir sejak sumpah pemuda, selama 70 tahun terakhir sejak kemerdekaan, ataupun selama 17 tahun terakhir sejak reformasi, telah banyak kemajuan yang telah kita capai, tetapi masih jauh lebih banyak lagi yang belum dan mesti kita kerjakan. Saking banyaknya permasalahan yang kita hadapi, terkadang orang cenderung larut dalam keluh kesah tentang kekurangan, kelemahan, dan ancaman-ancaman yang harus dihadapi yang seolah-olah tidak tersedia lagi jalan untuk keluar atau solusi untuk mengatasi keadaan.
Lebih-lebih selama 10 tahun terakhir ini, demikian banyak bencana yang datang bertubi-tubi, baik karena faktor alam maupun karena faktor kesalahan manusia. Bencana alam seperti tsunami di Aceh dan Nias dipandang sebagai bencana kemanusiaan yang tergolong sangat luar biasa skalanya dalam sejarah umat manusia. Bencana tsunami itu disusul pula oleh berbagai gempa bumi di berbagai daerah dan meletusnya Gunung Merapi yang juga menimbulkan banyak korban di Yogyakarta, Jawa Tengah dan meletusnya gunung sinabung yang berada di sumatera utara. Segala jenis bencana alam tersebut tentunya juga sangat berpengaruh terhadap kondisi perekonomian rakyat, tidak saja di daerah bencana, tetapi juga secara luas di seluruh Indonesia.
Namun, belum lagi usai pahit getirnya akibat bencana-bencana tersebut sekarang muncul lagi bencana baru berupa ancaman krisis perekonomian sebagai akibat terjadinya krisis keuangan dan Amerika Serikat. Tidak realistis untuk menganggap bahwa krisis keuangan di Amerika Serikat itu tidak akan berpengaruh ke dalam perekonomian bangsa kita di Indonesia. Tidaklah bertanggung jawab jika kita hanya berpangku tangan atau bersikap tidak perduli, meskipun kita juga tidak boleh menjadi panik sebagai akibat gejolak yang sedang terjadi di dunia.
Di samping perkembangan yang bersifat eksternal tersebut di atas, kita pun perlu terus mencermati dinamika perkembangan politik, ekonomi, dan sosial budaya di daerah-daerah dan di tingkat nasional kita sendiri. Perkembangan kegiatan berpemerintahan dan bernegara setelah sepuluh tahun terus menerus bergerak cepat, memerlukan langkah-langkah konsolidasi yang tersistematisasikan. Berbagai fungsi yang bersifat tumpang tindih perlu ditata ulang. Berbagai kegiatan yang alfa atau kesalahan dikerjakan, perlu ditangani dengan cara yang lebih baik.
Penting bagi kita semua, terutama kaum muda Indonesia, membiasakan diri yaitu untuk mengerjakan apa saja yang semestinya kita kerjakan guna memperbaiki keadaan dan meningkatkan produktifitas kita sebagai bangsa dan negara. Setiap anak bangsa perlu bertekad melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing melebihi apa yang seharusnya dikerjakan, dengan hanya mengambil hak tidak melebihi hak yang memang seharusny a diterima.
TEORI POSTKOLONIAL
Teori postkolonial dapat dikatakan sebagai teori yang dapat digunakan sebagai alat analisis untuk menggugat praktek-praktek kolonialisme yang masih berlanjut atau kolonialisme bentuk baru yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan rasisme, hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, budaya subaltern, hibriditas dan kreofisasi bukan dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan melalui kesadaran atau gagasan. Makaryk dalam Faruk (2007:14) mendefinisikan postkolonial sebagai kumpulan strategi teoretis dan kritis yang memiliki asumsi untuk mempersoalkan posisi subjek kolonial dan pasca kolonial[2]. Hampir sama dengan Makaryk, Ratna (2008:90) menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan postkolonialisme adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Dengan perkataan lain, postkolonial sebagai alat atau perangkat kritik yang melihat bagaimana sendi-sendi budaya, sosial dan ekonomi yang didalamnya terdapat subjek pascakolonial.
Istilah postkolonial adakalanya ditulis dengan menggunakan tanda hubung setelah awalan ‘pos’nya, untuk menekankan perbedaan studi postkolonial dengan teori wacana kolonial yang hanya berlaku sebagai salah satu aspek pendekatan dari berbagai pendekatan dan keterkaitan yang seharusnya mewarnai wacana postkolonial. Dalam hal ini, postkolonialisme adalah kritik terhadap ideologi (ide atau gagasan) kolonialisme; mengkritik bentuk totalisasi, dominasi dan bentuk kepemimpinan budaya (hegemoni) Barat. Sebagai ideologi yang mengkritik dominasi budaya Barat, postkolonialisme merupakan bentuk pemikiran baru tentang diferensi budaya. Postkolonialisme menentang universalisme nilai-nilai budaya Barat seperti individualisme, rasionalisme, fungsionalisme dan materialisme. Apa yang bagi Barat merupakan universalisme, namun bagi masyarakat Timur merupakan imperialisme. Berkaitan dengan hal itu, Barat sedang dan akan terus berusaha mempertahankan superioritas serta kepentingan-kepentingannya dengan cara menunjukkan kepentingan-kepentingan itu seakan-akan sebagai kepentingan “masyarakat dunia” atau global[3].
Disisi lain pembicaraan tentang postkolonialisme tidak terbatas pada upaya mencari kemerdekaan sebuah negara tetapi sudah lebih luas. Postkolonial atau pascakolonial, menurut Loomba dapat dipikirkan sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisan kolonialisme. Jorge de Alva-seperti dikutip Loomba (2003: 16) melihat pascakolonial sebagai suatu subjektivitas dari perlawanan terhadap wacana-wacana dan praktik-praktik imperialisme atau kolonialisasi[4]. Postkolonialisme juga tidak hanya terbatas pada upaya perlawanan terhadap pencarian kemerdekaan sebuah negara maupun perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisannya.
KAUM MUDA DAN MASA DEPAN BANGSA
            Kaum muda Indonesia adalah masa depan bangsa. Karena itu, setiap pemuda Indonesia, baik yang masih berstatus sebagai pelajar, mahasiswa, ataupun yang sudah menyelesaikan pendidikannya adalah aktor-aktor penting yang sangat diandalkan untuk mewujudkan cita-cita pencerahan kehidupan bangsa kita di masa depan. “The founding leaders” Indonesia telah meletakkan dasar-dasar dan tujuan kebangsaan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Kita mendirikan negara Republik Indonesia untuk maksud melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita tersebut, bangsa kita telah pula bersepakat membangun kemerdekaan kebangsaan dalam susunan organisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum yang bersifat demokratis (democratische rechtsstaat) dan sebagai Negara Demokrasi konstitutional (constitutional democracy) berdasarkan Pancasila.
Dalam upaya mewujudkan cita-cita itu, tentu banyak permasalahan, tantangan, hambatan, rintangan, dan bahkan ancaman yang harus dihadapi. Masalah-masalah yang harus kita hadapi itu beraneka ragam corak dan dimensinya.Banyak masalah yang timbul sebagai warisan masa lalu, banyak pula masalah-masalah baru yang terjadi sekarang ataupun yang akan datang dari masa depan kita. Dalam menghadapi beraneka persoalan tersebut, selalu ada kecemasan, kekhawatiran, atau bahkan ketakutan-ketakutan sebagai akibat kealfaan atau kesalahan yang kita lakukan atau sebagai akibat hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan kita, seperti karena terjadinya bencana alam atau karena terjadinya krisis keuangan di negara lain yang berpengaruh terhadap perekonomian kita di dalam negeri. Dalam perjalanan bangsa kita selama 100 tahun terakhir sejak kebangkitan nasional, selama 80 tahun terakhir sejak sumpah pemuda, selama 63 tahun terakhir sejak kemerdekaan, ataupun selama 10 tahun terakhir sejak reformasi, telah banyak kemajuan yang telah kita capai, tetapi masih jauh lebih banyak lagi yang belum dan mesti kita kerjakan. Saking banyaknya permasalahan yang kita hadapi, terkadang orang cenderung larut dalam keluh kesah tentang kekurangan, kelemahan, dan ancaman-ancaman yang harus dihadapi yang seolah-olah tidak tersedia lagi jalan untuk keluar atau solusi untuk mengatasi keadaan. Perkembangan kegiatan berpemerintahan dan bernegara setelah sepuluh tahun terus menerus bergerak cepat, memerlukan langkah-langkah konsolidasi yang tersistematisasikan. Berbagai fungsi yang bersifat tumpang tindih perlu ditata ulang. Berbagai kegiatan yang alfa dikerjakan, perlu ditangani dengan cara yang lebih baik.
Penting bagi kita semua, terutama kaum muda Indonesia, membiasakan diri yaitu untuk mengerjakan apa saja yang semestinya kita kerjakan guna memperbaiki keadaan dan meningkatkan produktifitas kita sebagai bangsa dan negara. Setiap anak bangsa perlu bertekad melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing melebihi apa yang seharusnya dikerjakan, dengan hanya mengambil hak tidak melebihi hak yang memang seharusnya diterima.
HMI DAN MASYARAKAT MADANI
            Diskursus seputar masyarakat madani (civil society) akan sulit mengesampingkan keberadaan konsep ruang public (public sphere). Civil Society yang dibangun oleh ruang publik menuntut adanya keterlibatan semua pihak. Dalam konteks inilah hadirnya semangat demokrasi menjadi sebuah keniscayaan untuk menciptakan alur kehidupan masyarakat yang berkeadilan, yang menempatkan masyarakat pada posisi sosial politik yang sejajar dan meberikan ruang sebesar mungkin terhadap keterlibatan berbagai elemen masyarakat untuk turut serta dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society).
HMI sebagai perekat civil society memiliki urgenitas terhadap peran ke-hmi-an yaitu kontrol sosial dan sistem kontrol pemerintah, yang dapat berfungsi sebagai peniup peluit (whistle blower) atas setiap anomali-anomali yang terjadi, serta sebagai kelompok penekan (pressure)atas setiap regulasi dan kebijakan elite yang tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat. 63 tahun sudah HMI mengisi warna dengan eksistensi yang berbeda terhadap bangsa ini, tidak menjadikan HMI letih dan berbalik arah meninggalkan tapak perjuangan yang dirintihnya, melainkan merapatkan shaf-saf mengisi ruang kosong dalam barisan perjuangan untuk menembus puncak kejayaan.
Tentunya perjalanan panjang itu tidak semerta tanpa persoalan struktural dan fungsional, HMI sempat mengalami beberapa fase tantangan dan pergolakan yang membuatnya semakin matang, dewasa dalam dinamika organisasi dan kebangsaan, namun lambat laun paradigma diatas mulai terkikis, HMI mandul dalam melahirkan pemikir muslim berwawasan kebangsaan. Spirit kebangsaan HMI lebih kuat disalurkan dalam gerakan politik daripada kerja-kerja intelektual. Mimpi menjadi intelektual digerus oleh hasrat dan syahwat untuk menjadi politisi. Sebuah potret buram yang harus direnungkan kembali bahwa HMI yang pertama berdiri di puncak kejayaannya ternyata sempat dihimpiti oleh Konfigurasi-konfigurasi kekuatan politik namun HMI dengan kebesaranya tetap berdiri di garis independensinya, yang membuatnya semakin besar dan disegani sebagai elemen yang senantiasa menciptakan perubahan sosial (social engineering).
Gejala lain yang sempat menghiasi mimpi buruk HMI ialah terjebak pada kejayaan HMI masa lalu, yang seharusnya dijadikan inspirator pengembangan organisasi, bukan dijadikan berhala yang dapat melahirkan kejumudan baru, yang membuat HMI tidak dapat bangun dari mimpi buruk tersebut. Meminjam bahasanya Yayat Biaro dalam pidato Politiknya pada Kongres HMI ke 23 di Balikpapan tahun 2002, bahwa “HMI adalah sebuah exercise”. Yang harus dimaknai sebagai tempat memproses pembentukan karakter kader yang totalitas (kaffah) yaitu kualitas manusia sempurna (insan kamil) yang tidak hanya sebagai agen perubahan (agen of change), tetapi sebagai pencetus perubahan (creator of change) dan yang memimpinnya (leader of change). Rekaman sejarah diatas diinformasikan kembali untuk menjadi tonggak spirit perjuangan HMI dalam perenungan kader.
HMI sebagai Organisasi terbesar tidaklah mudah untuk menjalankannya pada jalur yang benar (on the right track) kader harus dapat mereposisi perannya dalam memproteksi idealismenya dari terpaan gelombang idealita, hal ini selaras dengan pernyataan Anas Urbaningrum manta ketua PBHMI periode 1997-1999, dalam bukunya Menuju Masyarakat Madani: Pilar dan Agenda Pembaruan, Anas Urbaningrum menulis “Sebagai anak muda yang bergejolak dalam arus dinamika di HMI, saya diajarkan tentang idealita dan idealisme. Setiap kami berdebat tentang cita-cita Islam dan metodologi untuk mendaratkannya pada aras empiris, pada saat itu pula idealita itu menabrak karang realitas. Cita-cita memang berdiam di wilayah in abstracto, sementara kenyataan mewujud dalam ruang in concretto. Pada saat benturan itu terjadi, maka yang lahir adalah protes dan kritik. Tentu tidak sekedar itu. Kami juga diajarkan tentang jawaban alternatif Tetapi terus terang, jawaban bagi kami belum menjadi hal yang utama, Suatu waktu, generasi saya akan melakukannya juga[5].
Pernyataan Anas Urbaningrum diatas merupakan pengakuan terhadap eksistensi kader HMI, yang memiliki posisi strategis sebagai pewaris tahta zaman, yang teruji secara kapasitas dan kapabelitasnya dalam bingkai militansi kader yang senantiasa turut dalam penciptaan masyarakat madani, yang di ridhoi Allah.
Tentunya untuk melahirkan pemimpin yang mampu menciptakan terwujudnya masyarakat Madani yang senantiasa di dorong oleh HMI, bukanlah hal yang mudah, dimana diperlukan tools utama yaitu pengembangan SDM dengan menanamkan perangkat lunak (software) berupa karakter kepemimpinan yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan serta etika dan moral dalam bermasyarakat. Namun dalam menghadirkan sofeware tersebut diperlukan upaya komitmen, yang dilakukan secara terencana, berkelanjutan, dan berkesinambungan, dengan memperhatikan nilai-nilai kearifan pada suatu situasi dan kondisi tertentu.
Penggalakan civil society memungkinkan terjadinya "sense of self-governance" yang lebih besar di pihak masyarakat. Yakni masyarakat harus mengambil tanggung jawab lebih besar dalam penyelesaian isu-isu lokal dan membentuk komunitas lokal mereka sendiri. Dalam mengawal hak masyarakat (public right) serta sikap kepatuhan terhadap kewajiban yang inheren sebagai warga negara.
Maka dari kondisi itu sudah menjadi keharusan bagi HMI untuk tetap melahirkan kader-kader yang memiliki karakter kepemimpinan yang bertanggung jawab untuk mewujudkan visi atau cita ideal yang termaktub dalam mission HMI, sehingga HMI beserta steakholdernya bisa menjadi pengokoh dan pemersatu keutuhan bangsa.
Dan pada akhirnya biarkanlah bangsa ini menilai setiap keringat yang mengalir dari kesucian tubuh HMI beserta niatan ikhlasnya. Maka setiap kritik atas peran HMI di tampung dalam suatu bejana emas, untuk dijadikan pelajaran dalam memantapkan visi kedepan.




[1] Sulastomo, Reformasi: antara harapan dan realita.
[2] Faruk, Belenggu Pasca Kolonial, Hegemoni Dan Resistensi Dalam Sastra Indonesia, 2007.
[3] Samuel P. Hutington, Benturan Antar Peradaban, Qalam, Yogyakarta, 2001.
[4] Ania Loomba, Kolonialisme Pasca Kolonialisme, Terjemahan Dari Hartono Hadikusuma, Yogyakarta.
[5] Anas Urbaningrum, Menuju Masyarakat Madani: Pilar Dan Agenda Pembaharuan.

Comments