- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Eko Supriyadi
Judul : Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam
Penulis : Dr. Ali Syariati
Pengantar : Dr. Jalaluddin Rakhmat
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : ke-5, Dzulhijjah1413/ Mei 1993
Tebal : +185 halaman
LISENSI DOKUMEN
Copyleft: Digital Journal Al-Manar. Lisensi Publik. Diperkenankan
untuk melakukan modifikasi, penggandaan maupun penyebarluasan artikel ini
kepentingan pendidikan dan bukannya untuk kepentingan komersial dengan tetap
mencantumkan atribut penulis dan keterangan dokumen ini secara lengkap.
Book Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004
Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär
2
MEMAHAMI ISLAM SEBAGAI SEBUAH GERAKAN IDEOLOGIS YANG MENCERAHKAN DAN
MEMBEBASKAN
Oleh: Eko Supriyadi
“Kawan-kawan,
mari kita tinggalkan Barat dan Eropa, mari kita hentikan sikap meniru-niru Barat.”
“Mari kita
tinggalkan Barat yang sok berbicara tentang kemanusiaan, tetapi di mana-mana
kerjanya membinasakan manusia.”
Ali Syari’ati,
(1933-1977)
A.
FATALISME PERADABAN
Dewasa ini,
kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban manusia telah banyak mengalami
mutasi dalam bentukan yang tidak lagi orisinil. Ia tengah dibaratkan (westernized) dan dicongkel dari akarnya sehingga
nilai-nilai, kearifan, dan identitas aslinya terkoyak menjadi potongan-potongan
kecil yang terkontaminasi dengan produk kebudayaan Barat. Barat telah berhasil
mengkristalisasikan sentimen sentimen, corak corak rasial, pandangan serta pola
pemikiran masyarakatnya ke dalam karakter kebudayaannya dan mencekokkannya
kepada bangsa-bangsa lain. Kebudayaan dan peradaban sepertinya diklaim menjadi
eksklusif Barat.
Dengan menganggap
produk kebudayaan mereka lebih unggul dari bangsa-bangsa lain, Barat ingin
menjadikan bangsa-bangsa lain sebagai konsumen bagi kebudayaan dan nilai-nilai spiritual
mereka. Kebudayaan dan peradaban Barat telah mengambil bentuk yang baru, dari
kungkungan etnisitas menjadi cluster universal.
Filsafat, seni, teknologi, dan semua anasir kebudayaan yang berhubungan dengan
makhluk bernama manusia dikonstruksi sedemikian rupa sehingga—seolah-olah—hanya
ada satu parameter tunggal yang menjadi kiblat seluruh peradaban bangsa-bangsa
di dunia.
Pada dataran yang
lebih riil, perkembangan industri untuk menciptakan teknologi-teknologi baru
membawa dampak bagi kaum Muslim. Barat sebagai kampiun teknologi memanfaatkan
kemampuannya untuk menarik sumber-sumber alam, sumber uang, dan kekayaan
negeri-negeri dunia ketiga yang banyak dihuni oleh kaum Muslim. Dengan
teknologi pula Barat telah berhasil membentuk dirinya sebagai model dan mesin
pencetak peradaban dunia. Pencitraan teknologi berikut segala bentuk variasi
produknya berkembang pesat di bawah iklim kapitalistik.
Sehingga, negara
dunia ketiga yang notabene kurang memiliki kemampuan memproduksi teknologi
sendiri, di-setting
sedemikian rupa agar menjadi
konsumen setia produk Barat dengan harga yang mahal. Demi keuntungan
sebesar-besarnya, Kapitalisme selalu membuat strategi untuk bisa memasarkan
produknya dalam jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya. Agar masyarakat
dunia rela membeli habis barang-barang produk teknologi mereka, satu-satunya
cara adalah dengan membentuk pola pikir masyarakat yang konsumtif.
Melalui berbagai
media iklan dan propaganda, mereka menyusupkan visualisasi atas produk-produk
tersebut seolah olah merupakan kebutuhan yang bersifat primer dan wajib
dimiliki. Kecenderungan untuk membeli dan menggunakan produk Barat yang
sebelumnya bersifat tersier menjadi kebutuhan primer merupakan salah satu cara
kapitalis Barat mengeruk sebesar-besar keuntungan dari negara dunia ketiga.
Pencitraan tingginya status sosial, prestise, trend, dan predikat modern
dinisbatkan kepada siapapun yang mampu membeli, menggunakan dan terus mengikuti
model terbaru atas produk teknologi Barat.
Cara yang
demikian merupakan suatu tipuan yang membolak-balik logika masyarakat dunia
agar menanggalkan idetitas-identitas aslinya kemudian berebut untuk menggunakan
beragam bentuk produk kebudayaan Barat yang diklaim sebagai ikon-ikon kemajuan
dan keberadaban. Jadilah negeri-negeri konsumen sebagaimana kerbau yang dicolok
hidungnya oleh kekuatan kapitalistik Barat yang eksploitatif. Homogenisasi
kebudayaan dan peradaban inilah yang menjadi salah satu tantangan terbesar bagi
umat Islam sebagai pengemban wahyu illahi. Negeri-negeri Muslim yang pada
umumnya masih menjadi mayoritas tertindas (the oppressed majority) dalam keterpurukan ekonomi, politik, dan
sosial, ditambah dengan rendahnya intelektualitas, mengimpor produk kebudayaan,
teknologi, dan peradaban Barat ke dalam tanah air mereka sebagai usungan jargon
globalisasi dan ikon modernisasi.
Sudah tentu
generasi muda menjadi obyek terbesar yang menghadapi pengaruh dari perbenturan
kebudayaan ini. Mengapa bukan kalangan tua yang justru tengah memegang perannya
sebagai organ-organ yang sedang menjalankan mesin negara dan masyarakat? Sebab
bagaimanapun, generasi tua sudah sulit mengalami pergeseran nilai-nilai yang
sebelumnya terpatri dalam benak mereka. Generasi tua akan segera mengakhiri tugas-tugasnya
untuk digantikan, dan ia mesti mempersiapkan penerus yang lebih baik dari
mereka; yaitu generasi muda. Generasi muda merupakan modal paling esensial bagi
masyarakat untuk menciptakan suatu perubahan. Jika pikiran generasi muda
perlahan-lahan digerus oleh konstruk pseudo kebudayaan
dan toxic
peradaban Barat yang
materialistik dan hedonis, sulit sekali mengharapkan perubahan positif muncul
dari generasi seperti mereka.
Dengan
logika-logika tersebut di atas, masalah dunia Islam dewasa ini nyata tertumpu
kepada satu titik, yaitu ketergantungan yang teramat besar terhadap Barat. Sebagian
besar masyarakat Muslim telah mengalami keruntuhan dalam banyak sisi. Cara
pandang, gaya hidup, selera, kecenderungan berfikir, pilihan hidup, semua menuju
kubangan besar yang bernama “hedonisme”
dan saudara kembarnya, “materialisme”.
Dunia Muslim
telah dikoyak-koyak oleh kekuatan Barat. Kekayaan alam dikeruk di balik
jargon-jargon liberalisme ekonomi dan perdagangan bebas. Moralitas dan nilai
dilepaskan dari otentitas kediriannya oleh lidah-lidah hipokrit kebebasan,
kemerdekaan, dan HAM. Slogan kebebasan digembar-gemborkan di balik kamuflase
penghancuran dari dalam. Momok terorisme digencarkan untuk memperoleh
legitimasi atas pembantaian dan pemusnahan kepada siapapun yang dituduh sebagai
kutu-kutu peradaban. Ketakutan dan kecemasan dihembuskan untuk menggiring umat
manusia berbondong-bondong berlindung di balik ketiak Barat. Atas nama
perdamaian dan keamanan dunia, penjajahan dan perampasan kemerdekan justru dihalalkan
terhadap negeri-negeri Muslim. Bagaimanapun, tibalah saatnya dunia kini sedang
mengalami satu pendulum yang meluncur ke arah Barat. Dunia sedang berada dalam
cengekeraman Barat, dalam segala sisi kehidupan. Sulit ditemukan sebuah negara
yang bersih dari pengaruh anasir-anasir Barat. Masyarakat dunia secara umum
sedang menderita westruckness
dan westoxication—meminjam istilah Ali Syari’ati—kebangkrutan
moral ala Barat dan mabuk kepayang terhadap Barat.
Kenyataan ini
memang tengah berlangsung hingga saat ini. Namun ia tidak bisa terus-menerus
demikian. Umat Islam memiliki modal dan kekuatan dasar untuk itu melakukan
perubahan. Islam, selama ini telah terdistorsi menjadi sekedar agama ritual dan
profan, ia telah kehilangan ruh ideologisnya secara terus-menerus hingga
tinggal berbentuk mosaik reruntuhan peradaban.
B.
PEMAKNAAN IDEOLOGIS ATAS ISLAM
Istilah ideologi
berasal dari kata “idea” yang berarti pemikiran, daya khayal, konsep atau
keyakinan. Kemudian “logos” berarti logika atau ilmu. Dengan demikian ideologi
dapat diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan gagasan. Seorang ideolog
adalah penganjur gagasan tertentu yang perlu ditaati oleh suatu kelompok, kelas
sosial, bangsa atau ras tertentu. Meminjam ungkapan seorang penulis Perancis,
ideologi sangat erat kaitannya dengan orang yang menggerakkan, cendekiawan atau
intelektual dalam masyarakat. Karena itulah seorang cendekiawan dituntut untuk
memiliki pengertian yang jelas mengenai ideologi yang dapat membantunya
mengembangkan suatu pola pemikiran yang jelas.
Mempunyai ideologi
berarti mempunyai keyakinan kuat tentang bagaimana mengubah status quo yang
sudah mentradisi dalam masyarakatnya. Ideologi berbeda dengan bentuk-bentuk
pemikiran lain, seperti halnya ilmu pengetahuan dan filsafat. Ideologi menuntut
agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah
yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan fisafat tidak, karena sifat
dan keharusan ideologi meliputi keyakinan tanggung jawab dan keterlibatan untuk
komitmen. Sejarah mengatakan revolusi, pemberontakan, pengorbanan hanya dapat
digerakkan oleh ideologi. Baik ilmu maupun filsafat tidak pernah dapat
melahirkan revolusi dalam sejarah, walaupun keduanya selalu menunjukkan
perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideologi ideologi yang
senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengorganisir pemberontakan-pemberontakan
menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan pengorbanan dalam sejarah manusia di
berbagai belahan dunia. Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup
keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan
komitmen.
Dalam bentuknya
yang masih asli, pada dasarnya agama—dalam hal ini Islam dapat dan harus
difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan masyarakat
di negeri manapun yang tertindas, baik secara kultural maupun politik. Lebih
tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya—yang belum terkontaminasi oleh
nilai-nilai diluar dirinya—merupakan ideologi revolusioner kearah pembebasan
dari hegemoni politik, ekonomi, dan kultural yang bukan Islam. Islam sebagai mahzab sosiologi ilmiah
meyakini bahwa perubahan sosial (termasuk revolusi) dan perkembangan masyarakat
tidak dapat didasarkan pada kebetulan, karena masyarakat merupakan organisme
hidup, memiliki norma-norma kekal dan norma-norma yang tak tergugat dan dapat
diperagakan secara ilmiah. Manusia memiliki kebebasan dan kehendak bebas,
sehingga dengan campur tangannya dalam menjalankan norma masyarakat, setelah
mempelajarinya dan menggunakannya, dia dapat berencana dan meletakkan
dasar-dasar bagi masa depan yang lebih baik untuk individu maupun masyarakat.
Islam sebagai
sebuah ideologi, bukanlah spesialisasi ilmiah, melainkan perasaan yang dimiliki
seorang berkenaan dengan mahzab pemikiran sebagai suatu sistem keyakinan dan
bukan sebagai suatu kebudayaan. Hal ini berarti Islam perlu dipahami sebagai
sebuah ide dan bukan sebagai sekumpulan ilmu. Islam perlu difahami sebagai
suatu gerakan kemanusiaan, historis dan intelektual, bukan sebagai gudang
informasi teknis dan ilmiah. Dengan demikian berarti Islam perlu dipandang sebagai
ideologi dalam pikiran seorang intelektual, bukan sebagai ilmu-ilmu agama kuno
dalam pikiran seorang ahli agama. Namun demikian, proses pemihakan seorang
Muslim terhadap ideologi Islam tidak bisa dipaksakan maupun dibayang-bayangi
kekuatan di luar dirinya, melainkan harus terinternalisasi secara sukarela atas
dasar kehendak bebasnya untuk memilih dan menentukan. Jika ideologi tidak lagi
merupakan manifestasi kehendak merdeka seseorang, atau dipaksakan kehadirannya,
maka ia telah kehilangan ruhnya dan berubah menjadi sekedar sebuah tradisi
sosial bagian dari kebudayaan, ia telah kehilangan karakteristik aslinya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Syari’ati (1986):
Islam adalah agama yang dengan segera melahirkan
gerakan, menciptakan kekuatan, menghadirkan kesadaran diri dan pencerahan, dan
menguatkan kepekaan politik dan tanggung jawab sosial yang berkait dengan diri
sendiri.… suatu kekuatan yang meningkatkan pemikiran dan mendorong kaum
tertindas agar memberontak dan menghadirkan di medan perang spirit keimanan,
harapan dan keberanian.”
Terdapat
perbedaan antara Islam dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh
Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti dikemukakan oleh
Durkheim sebagai “suatu
kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasan-perasaan pribadi; suatu
peniru terhadap modus-modus, agama-agama, ritualritual, aturan-aturan,
konvensi-konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantap selama
generasi demi generasi. Ia tidak harus merupakan manifestasi dari semangat dan
ideal kemanusiaan yang sejati.” Jika
Islam dirubah bentuknya dari “mahzab ideologi” menjadi
sekedar “pengetahuan kultural” dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana
yang dikonsepsikan Durkheim, ia akan kehilangan daya
dan kekuatannya untuk melakukan
gerakan, komitmen, dan tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak memberi kontribusi apapun kepada
masyarakat.”
Dalam konteks
praksis, Agama Islam berbeda dengan agama-agama lain. Islam tidak bisa dikonvensionalkan menjadi
ritualitas individu semata, melainkan ruh yang menggerakkan hati seorang Muslim untuk
menempuh aksi-aksi progresif bagi kemaslahatan
umat manusia baik individu maupun kolektif. Sebagai sebuah ideologi, agama Islam bertengger di atas keyakinan yang
secara sadar dipilih untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan
serta masalah-masalah yang mencuat dalam masyarakatnya. Sebagai konsekuensi karakteristik
universalitasnya, Islam senantiasa hadir dalam realitas masyarakat seperti apapun
bentuknya dan dalam kondisi bagaimanapun.
Dengan demikian, Islam menuntut upaya-upaya korektif dan konstruktif atas kondisi yang kontraproduktif
terhadap kebangunan Islam itu sendiri.
Karenanya Islam
adalah agama yang membumi, mendekati sedekat mungkin segala realitas kontekstual yang sedang
bergejolak dalam masyarakat, untuk selanjutnya
menawarkan solusi atas permasalahan yang ada. Wawasan keislaman seperti apapun, tanpa suatu
pemahaman yang mendalam terhadap
prinsip-prinsipnya—dari dataran konseptual hingga wilayah praksis—tidak akan mampu menjadi khasanah untuk menemukan
kebijaksanaan Islam, paling jauh hanya
mencetak seorang intelektual yang kebetulan Islam, bukan Islam intelektual.
Seorang Islam
dalam bentukan yang tidak kaffah semacam
ini memandang Islamnya dari suatu
jarak yang jauh dari kehidupan masyarakat tanpa terbebani sebuah tanggung jawab sosial. Kesadaran yang perlu ditumbuhkan ialah, bahwa
kaum Muslim menanggung beban
tanggung jawab sosial, dan bahkan misi universal, untuk memerangi kejahatan dan berusaha merebut kemenangan demi umat
manusia, kebebasan, keadilan, dan kebaikan.
Islam mengajarkan bahwa di hadapan Allah manusia bukanlah makhluk yang rendah, karena ia adalah rekan Allah,
teman-Nya, pendukung amanah-Nya dibumi.
Manusia menikmati
afinitasnya dengan Allah, menerima pelajaran dari-Nya, dan telah menyaksikan betapa semua malaikat
Allah bersujud kepadanya. Manusia bidimensional
yang memikul tanggung jawab demikian ini, membutuhkan agama yang tidak hanya berorientasi kepada dunia ini
atau akherat semata, melainkan agama yang mengajarkan
keseimbangan. Hanya dengan agama demikian (Islam) manusia mampu melaksanakan tanggung jawabnya
yang besar. Dalam kenyataannya, kebanyakan ilmuwan, penulis,
arsitek, sastrawan, ahli kesehatan,
dan semua kelompok yang ada dalam masyarakat bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan yang netral. Netralitas berarti
bebas nilai, tidak bermuatan ideologis
tertentu. Inilah yang menyebabkan mereka hanya dipekerjakan untuk uang yang berarti tergantung pada pemilik modal.
Slogan netralitas ilmiah telah didiktekan kepada para ilmuwan dunia ketiga. Sehingga para
ilmuwan haruslah menjadi jiwa yang
terbelah (the
split personality) menjadi dua
bagian atau lebih, di satu sisi ilmu dan keahlian, di sisi lain adalah keyakinan, yang
menempati wilayah saling terasing satu sama lain.
Mereka mesti
menjejali kepalanya dengan pernyataan-pernyataan bahwa dia adalah ilmuwan yang obyektif dan netral,
bekerja dalam dunai analisis yang menuntut
semua dicari dan direkam secara obyektif, demi kemurnian ilmu dan menghindari distorsi ilmu. Maka jatuhlah diri
mereka ke dalam ketidakbermaknaan atas
karya-karya dan jerih payah yang mereka kerjakan, tanpa suatu misi tertentu, motivasi yang hakiki, serta harapan yang lebih
besar untuk mereka dapatkan dari sekedar
uang, privelese, dan penghargaan oleh manusia. Dewasa ini ilmu dipisahkan dari ideologi dalam
jarak yang sangat jauh. Sebuah
kekeliruan bagi ilmu untuk bersentuhan dengan ideologi. Ketersinggungan antara ilmu, profesi, dan ideologi bukan lagi
masalah yang harus diperdebatkan, ia sudah
dibereskan oleh modernisasi dan rasionalisasi pikiran manusia. Jika disadari, sebenarnya logika berfikir tersebut sama halnya
mencabut ruh dari sangkar badannya.
Dengan cara pandang demikian maka ilmuwan modern menjual dirinya kepada pemerintah, korporasi, kekuatan modal,
demi mendapatkan upah yang tinggi untuk
kemakmurannya. Mereka tidak lagi mempedulikan ketimpangan, ketidakadilan, status-quo, kebobrokan, dan
peristiwa apapun yang muncul di tengahtengah masyarakatnya. Padahal disinilah tugas dan
bidang garap ideologi. Ketika ideologi
sudah dicampakkan dari kesatuan utuh paradigma berfikir masyarakat, maka nilai-nilai dasar yang memotivasi seluruh
aktivitas mereka menjadi pragmatis.
Mereka akan
kekurangan sense
of humanity, kemanusiaan sudah
tergadaikan oleh
egoisme individualistik dan
tujuan-tujuan jangka pendek. Dengan demikian sesungguhnya yang dibutuhkan Islam adalah
ilmuwan-ilmuwan yang ideolog, bukan ilmuwan
pragmatis. Ilmuwan yang bergerak dalam dua aras; antara idealita dan realita, antara individu dan sosial, antara
vertikal dan horizontal, antara profesionalisme
dan humanisme, antara misi kemanusiaan dan misi kenabian, antara kehidupan dunia dan setelahnya. Mereka itu
adalah ulil
albab, rausyanfikr yang menyimpan
energi untuk menggerakkan peradaban.
C.
MENJADI RAUSYANFIKR!
Rausyanfikr4 adalah,
seorang pemikir tercerahkan yang mengikuti ideologi yang dipilihnya secara
sadar. Ideologi akan membimbingnya kepada pewujudan tujuan ideologi tersebut,
ia akan memimpin gerakan progresif dalam sejarah dan menyadarkan ummat terhadap
kenyataan kehidupan. Ia akan memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak
stagnasi. Sebagaimana rasul-rasul selalu muncul untuk mengubah sejarah dan
menciptakan sejarah baru. Memulai gerakan dan menciptakan revolusi sistemik. Rausyanfikr adalah model manusia yang diidealkan oleh Ali
Syari'ati untuk memimpin masyarakat menuju revolusi. Menurut Eko (2004), Ia
mengandung pengertian yang lebih detail sebagai:
Orang yang sadar akan keadaan manusia (human condition) di
masanya, serta setting kesejarahannya dan
kemasyarakatannya…yang menerima rasa tanggung jawab sosial. Ia tidak harus berasal dari
kalangan terpelajar maupun intelektual. Mereka adalah para pelopor dalam revolusi dan gerakan
ilmiah.
Dalam zaman modern maupun berkembang, rausyanfikr mampu menumbuhkan rasa
tangung jawab dan kesadaran untuk memberi arahan 4 Rausyanfikr adalah bahasa Persia yang artinya “Pemikir yang
tercerahkan.” Dalam terjemahan Inggris terkadang
disebut intelectual atau free thinkers.
Rausyanfikr
berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan menemukan
kenyataan, seorang rausyanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan
fakta sebagaiman adanya, Rausyanfikr memberikan
penilaian seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal, Rausahnfikr seperti para Nabi – berbicara dengan bahasa kaumnya.
Ilmuwan bersikap netral dalam menjalankan
pekerjaannya, Rausyanfikr harus melibatkan diri pada ideologi. intelektual
dan sosial kepada massa/ rakyat.
Rausyanfikr
dicontohi oleh pendiri agama agama besar (para Nabi), yaitu pemimpin yang mendorong
terwujudnya pembenahan pembenahan stuktural yang mendasar di masa lampau.
Mereka sering muncul dari kalangan rakyat jelata yang mempunyai
kecakapan berkomunikasi dengan rakyat untuk menciptakan semboyan-semboyan baru,
memproyeksikan pandangan baru, memulai gerakan baru, dan melahirkan energi baru ke
dalam jantung kesadaran masyarakat. Gerakan mereka adalah gerakan revolusioner
mendobrak, tetapi konstruktif.
Dari masyarakat beku menjadi progresif, dan memiliki
pandangan untuk menentukan nasibnya sendiri. Seperti halnya para nabi, rausyanfikr tidak
termasuk golongan ilmuwan dan bukan bagian dari rakyat jelata yang tidak berkesadaran dan
mandek. Mereka individu yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab untuk menghasilkan
lompatan besar.
Manusia rausyanfikr memiliki karakteristik memahami situasi,
merasakan desakan untuk memberi tujuan yang tepat dalam menyebarkan gaya hidup
moralitas dan monastis, anti status quo, konsumenistik, hedonistik dan segala
kebuntuan filosofis menuju masyarakat yang mampu memaknai hidup, konteks, dan
realitas masyarakat. Seperti apa yang dikatakan Syariati (2001) sebenarnya
mewakili aksi-aksi intelektualnya, bahwa orang tercerahkan akan memanfaatkan
potensi yang ada untuk perubahan:
Setelah
jelas semua ini, tanggung jawab paling besar orang-orang yang tercerahkan
adalah menentukan
sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan
menemukan
penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam
lingkungannya.
Lebih-lebih ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih
tertidur,
mengenai alasan–alasan dasar bagi nasib sosio-historis yang tragis. Lalu,
dengan berpijak
pada sumber-sumber, tanggung jawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan
masyarakatnya,
ia dituntut menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang
memungkinkan
pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam
masyarakatnya
dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang
tercerahkan
akan berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara
kesengsaraan,
penyakit sosial, dan kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal dan
eksternal.
Akhirnya, orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman diluar
kelompok
teman-temannya yang terbatas ini kepada masyarakat secara keseluruhan.
Rausyanfikr
merupakan kunci bagi
perubahan, oleh karenanya sulit diharapan terciptanya perubahan tanpa peranan
mereka. Merekalah pembangun jalinan yang meninggalkan isolasi menara gading dan
turun dalam masyarakat. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang
tidur panjang menuju gerakan melawan penindas. Hanya ketika dikatalisasi oleh rausyanfikr masyarakat dapat mencapai lompatan kreatif yang
besar menuju peradaban baru. Pemikir tercerahkan adalah aktivis yang meyakini
sungguh-sungguh dalam ideologi mereka dan menginginkan syahid demi perjuangan tersebut. Misi yang dilancarkan
mereka adalah untuk memandu “massa yang tertidur dan bebal” dengan
mengidentifikasi masalah riil berupa kemunduran masyarakat, dan Islam—agama
keadilan—sebagai solusi rasional untuk menguliti masalah yang mencuat dalam
masyarakat. Syari’ati bertutur:
Manusia
ideal memiliki tiga aspek: kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Dengan
perkataan lain:
pengetahuan, akhlaq, dan seni. Menurut fithrahnya dia adalah khalifah Allah.
Dia adalah
kehendak yang komit dengan tiga macam dimensi: kesadaran, kemerdekaan, dan
kreativitas.
Jika boleh
divisualkan, Ali Syari’ati seolah berorasi kepada seluruh intelektual Muslim di
manapun:
”
Wahai ulil albab, rausyanfikr, kalian jangan berhenti di atas menara gading.
Turunlah ke bawah, ke kampung-kampung, ke kota-kota, ke pasarpasar, ke
sekolah-sekolah, ke tempat dimana ada sekumpulan manusia. Jangan puas dengan ilmu
yang telah kalian dapatkan. Sebab ilmu itu harus kalian abdikan ke tengah
masyarakatmu. Tumbuhkan kesadaran dan semangat umat untuk merubah dunia dengan
bimbingan ilmu. Jangan anjurkan mereka meniru-niru Barat atau menjiplak Timur.
Sebab Barat dan Timur bukanlah kutub yang harus dipilih, keduanya sama-sama
tumbuh dari jantung tradisi. Hidupkan Islam, sebab Islam bukan tradisi, bukan
Barat, bukan pula Timur. Islam adalah wahyu. Pelajari keyakinan dasar dan
proses yang membentuk kesadaran masyarakatmu, kemudian kebudayaan mereka, dan
karakteristik mereka. Tugas kalian adalah merobohkan sistem masyarakat yang
berdasar atas penindasan, ketidakadilan, dan kezaliman dengan membentuk umat
yang terbangun atas dasar tauhid. Inilah tugas para rasul, kini kalian penerusnya!”
Wallahual’lam bishawwab.
Referensi lanjut:
Rahnema, Ali (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan, Bandung, 1995. “Kumpulan tulisan tentang
riwayat beberapa tokoh Muslim perubah dunia dan pemberi kontribusi besar dalam
dinamika kebangunan ummat Islam.”
Ridwan, M. Deden, (ed), Melawan Hegemoni Barat; Ali Syariati
Dalam Sorotan Cendekiawan
Indonesia, Penerbit Lentera, Jakarta, 1999.
“Kumpulan tulisan beberapa penulis Muslim
Indonesia yang menyoroti sosok Ali Syari'ati dalam berbagai sudut pandang
keagamaan, sosial, politik, dan kultural.”
Supriyadi, Eko, Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syariati,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Desember
2003.
Analisis seputar karakteristik revolusioner
Islam dalam pandangan Ali Syariati, kritik kritiknya terhadap Marxisme, berikut
analisis mengenai titik singgung dan titik seberang antara Islam dan
Sosialisme-Marxisme.
Syari'ati, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001. “Pandangan
Ali Syari'ati yang membahas tentang perspektif Islam dalam memandang manusia,
pandangan dunia seorang Muslim tentang tawhid dan perannya dalam masyarakat, berikut analisis
sosiologis masyarakat Islam.”
_________, On Socioligy of Islam, Mizan Press, Berkeley, 1979. “Pandangan Ali
Syari'ati tentang perspektif sosiologis Islam dan konsepsinya tentang masyarakat
dalam kacamata Islam.”
_________, Paradigma Kaum Tertindas,
Sebuah Kajian Sosiologi Islam, Al-Huda,
Jakarta, 2001.
“Pandangan hidup tawhid , dialektika sejarah dalam perspektif Al-Qur'an,
serta
analisis tentang karakteristik Nabi Muhammad
sebagai utusan Tuhan.”
_________, Humanisme Antara Islam dan
Mahzab Barat, Pustaka
Hidayah, Bandung, 1996.
“Pandangan Ali Syari'ati tentang konsep humanisme
sekuler, kritik terhadap humanisme, eksistensialisme, modernisme, dan Marxisme,
serta tarik menarik antara Marxisme dengan agama, khususnya Islam. Di sini Ali
Syari’ati secara tegas menyatakan perbedaannya antara mahzab Islam dan mahzab
Barat.”
_________, Haji, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997.
“Penjelasan naratif tentang pelaksanaan ibadah
hajji dalam analisis mistis-filosofispolitis dalam setiap tahapan hajji.”
_________, Islam Mahzab Pemikiran dan
Aksi, Mizan, Bandung,
1992.
“Mahzab pemikiran ideologi Ali Syari'ati, sejarah
dua mahzab Islam dan filsafat doa dalam pandangan Ali Syari'ati.”
_________, Membangun Masa Depan Islam, Mizan, Bandung, 1986.
“Kumpulan teks ceramah Ali Syari'ati tentang
langkah-langkah yang ditempuh umat Islam dalam upaya reinterpretasi Islam,
dilengkapi dengan naskah rencana praktis Husyainiyah Irsyad, sebagai tungku yang menampung
pemikiran-pemikiran revolusioner Ali Syari'ati.”
_________, Panji Syahadah: Tafsir Baru Islam Sebuah
Pandangan Sosiologis,
Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1986.
“Makna syahadah dalam tradisi Islam,
karakterisik Islam sejati, dan gambaran wajah Nabi Muhammad.”
_________, Reflections of Humanity: Two Views of
Civilization and the Plight of Man, Free Islamic Literatures, Houston, 1980.
“Pandangan Ali Syari'ati tentang humanisme dan
nestapa manusia di tengah pusaran peradaban dan ideologi dunia.”