- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Leon Trotsky
(1910)
Sumber: The
Intelligentsia and Socialism. Leon Trotsky Internet Archive
Penerjemah: Ted
Sprague, Agustus 2009
Pertama kali diterbitkan di The
New International Vol 4. No.8, Agustus 1938, hal. 249-250
Sepuluh
tahun yang lalu, atau bahkan enam atau tujuh tahun yang lalu, para pembela
pemikiran sosiologi Rusia yang subjektif (yakni kaum “Sosialis Revolusioner[1]”)
mungkin telah berhasil menggunakan brosur terbaru dari ahli filosofi dari
Austria, Max Adler[2],
untuk kepentingan mereka. Akan tetapi, selama lima atau enam tahun terakhir,
kita telah melalui “pemikiran sosiologi” yang cermat dan objektif, dan
pelajaran-pelajarannya tertulis pada tubuh kita di bekas-bekas luka yang
sangatlah ekspresif, dimana contoh yang paling baik dari kaum intelektual, bahkan
yang datang dari pena “Marxis” Max Adler, tidak akan bisa membantu
subjektivisme Rusia. Sebaliknya, nasib dari kaum subjektivis Rusia adalah
sebuah argumen yang paling serius terhadap gagasan-gagasan dan
kesimpulan-kesimpulan Max Adler.
Subyek dari brosur
ini adalah hubungan antara kaum intelektual dan sosialisme. Bagi Adler, ini
bukan hanya sebuah masalah analisa teori tetapi juga masalah hati nurani. Ia
ingin meyakinkan orang-orang. Brosur Adler, yang berdasarkan pidato yang dia
berikan pada kaum pelajar sosialis, dipenuhi dengan keyakinan yang kuat.
Semangat untuk merubah keyakinan seseorang memenuhi brosur kecil ini, dan ini
memberikannya sebuah nuansa yang spesial pada ide-ide yang tidak baru ini.
Untuk memenangkan kaum intelektual ke idenya, untuk meraih dukungan mereka
dengan cara apapun, hasrat politik tersebut benar-benar menutupi analisa sosial
di dalam brosur Adler. Dan ini memberikannya sebuah nada yang partikular, dan
merupakan kelemahannya.
Apa itu kaum
intelektual? Tentu saja Adler memberikan konsep ini bukan sebuah definisi moral
tetapi sebuah definisi sosial: kaum intelektual bukanlah sebuah kelompok yang
terikat oleh sebuah hukum sejarah, tetapi sebuah strata sosial yang meliputi
semua pekerjaan “otak”. Bagaimanapun sulitnya untuk menarik garis demarkasi
antara kerja “manual” dan “otak”, ciri-ciri sosial umum dari kaum intelektual
cukup jelas, tanpa perlu menuju ke detil-detil. Kaum intelektual adalah sebuah
kelas tersendiri – Adler menyebut mereka sebuah kelompok inter-kelas [yang dimaksud
disini adalah sebuah kelompok yang tidak terikat pada satu kelas saja – Ed.],
tetapi pada esensinya tidak ada perbedaan – yang eksis di dalam kerangka
masyarakat borjuasi.
Dan bagi
Adler pertanyaannya adalah: siapa yang memiliki hak untuk memiliki jiwa dari
kelas ini? Apa ideologi yang menjadi dasarnya, sebagai hasil dari fungsi
sosialnya? Adler menjawab: ideologi kolektivisme. Adler tidak menutupi matanya
dari kenyataan bahwa kaum intelektual Eropa, selama mereka tidak menentang ide
kolektivisme, berdiri mengambang jauh dari kehidupan dan perjuangan rakyat
pekerja, tidak panas dan tidak dingin. Tetapi semua tidak harus seperti itu,
kata Alder, tidak ada basis objektif yang cukup untuk itu. Adler secara pasti
menentang kaum Marxis yang menyangkal keberadaan kondisi-kondisi umum yang
dapat menyebabkan sebuah gerakan massa kaum intelektual menuju sosialisme.
Dia
menyatakan di pembukaannya “Ada faktor-faktor yang memadai – walaupun bukan
faktor ekonomi secara murni, tetapi dari lingkupan yang lain – yang dapat
mempengaruhi seluruh massa kaum intelektual, bahkan terlepas dari situasi
kehidupan kaum proletar, faktor-faktor yang dapat menjadi motif yang cukup bagi
mereka untuk bergabung dengan gerakan buruh sosialis. Kaum intelektual hanya
perlu dibuat sadar akan sifat dasar utama dari gerakan ini dan posisi sosial
mereka.” Apa faktor-faktor ini? Adler mengatakan, “Karena kesakralan, dan
terutama, peluang untuk perkembangan kepentingan spiritual yang bebas adalah
kondisi kehidupan kaum intelektual yang utama, oleh karena itu kepentingan
intelektual adalah sama dengan kepentingan ekonomi.
Maka, bila
basis bagi kaum intelektual untuk bergabung dengan gerakan sosialis harus
dicari di luar lingkupan ekonomi, ini adalah karena persyaratan eksistensi
ideologi tertentu untuk kerja mental daripada isi kebudayaan sosialisme”
(halaman 7). Terlepas dari karakter kelas seluruh gerakan (toh, gerakan
hanyalah sebuah jalan!), terlepas dari gambaran partai-politik sehari-hari
(toh, partai politik hanyalah sebuah alat!), sosialisme pada dasarnya, sebagai
sebuah ide sosial yang universal, berarti pembebasan semua bentuk kerja otak
dari segala macam belenggu dan batasan sejarah. Premis ini, visi ini,
menyediakan jembatan ideologi dimana kaum intelektual Eropa dapat dan harus
lewati untuk menuju ke kamp Sosial Demokrasi[3].
Ini adalah
titik pandang Adler yang utama, yang merupakan isi dari seluruh brosurnya.
Kekeliruan utamanya, yang segera mencuat ke mata kita, adalah karakternya yang non-historis.
Dasar sosial bagi kaum intelektual untuk memasuki kamp kolektivisme yang digunakan
oleh Adler sudah ada sejak dulu; akan tetapi tidak ada sama sekali gerakan
massa intelektual menuju Sosial Demokrasi di negara Eropa manapun. Tentu saja
Adler tahu hal ini seperti juga kita. Tetapi dia cenderung melihat terasingnya
kaum intelektual dari gerakan kelas pekerja adalah karena kaum intelektual tidak
memahami sosialisme. Pada satu pihak ini benar. Tetapi bila begitu apa
penjelasan untuk ketidakpahaman ini, yang eksis bersama-sama dengan pemahaman
mereka akan hal-hal yang lebih kompleks? Jelas, ini bukan karena kelemahan
logika ideologis mereka, tetapi karena kekuatan elemen-elemen irasional di
dalam psikologi kelas mereka.
Adler
sendiri berbicara mengenai ini di dalam babnya Bürgerliche Schranken des
Verständnisses (Batas Pemahaman Kaum Borjuis), yang merupakan salah
satu bab terbaik di dalam brosur tersebut. Tetapi dia berpikir, dia berharap,
dia yakin – dan disini sang teoritis menjadi pengkhotbah – bahwa Sosial
Demokrasi Eropa akan bisa menghancurkan elemen-elemen irasional di dalam mentalitas
pekerja-otak bila saja Sosial Demokrasi merekonstrusi logika hubungannya dengan
mereka [baca kaum intelektual – Ed.]. Kaum intelektual tidak memahami
sosialisme karena sosialisme dari hari-ke-hari tampak bagi mereka ada dalam
bentuk rutinnya sebagai sebuah partai politik, seperti yang lainya. Tetapi bila
kaum intelektual bisa ditunjukkan wajah sosialisme yang sesungguhnya, sebagai
sebuah gerakan kebudayaan sedunia, mereka pasti akan bisa melihat harapan dan
aspirasi mereka yang terbaik. Begitulah pikir Adler.
Kita sudah
sampai sejauh ini tanpa memeriksa apakah benar persyaratan kebudayaan murni
(perkembangan teknik, ilmu pengetahuan, kesenian) jauh lebih kuat, sepanjang
kaum intelektual disangkutkan, daripada pengaruh kelas dari keluarga, sekolah,
gereja, dan negara, atau kepentingan material. Dan bahkan bila kita menerima
ini sebagai argumen, bila kita setuju untuk melihat bahwa kaum intelektual
adalah pendeta kebudayaan yang sampai sekarang hanya gagal melihat bahwa
penumbangan rejim borjuis dengan sosialisme adalah cara terbaik untuk melayani
kepentingan kebudayaan, pertanyaan yang utama tetap adalah: dapatkah Sosial
Demokrasi Eropa Barat menawarkan kaum intelektual, secara teori dan moral,
sesuatu yang lebih meyakinkan atau lebih menarik daripada apa yang sudah
ditawarkan sampai sekarang?
Kolektivisme
sudah memenuhi dunia dengan suara perjuangannya selama berpuluh-puluh tahun.
Selama periode ini jutaan buruh telah bersatu di dalam organisasi politik,
serikat buruh, koperasi, organisasi pendidikan, dan organisasi-organisasi
lainnya. Seluruh kelas telah bangkit dari dasar kehidupan dan memaksa masuk ke
dalam politik, yang sampai sekarang dianggap sebagai hak tunggal dari kelas
yang berada. Setiap hari, koran-koran sosialis – koran teori, politik, serikat buruh
– mengevaluasi ulang semua nilai-nilai borjuis dari sudut pandang sebuah
masyarakat yang baru. Tidak ada satupun masalah mengenai kehidupan sosial dan
kebudayaan (perkawinan, keluarga, sekolah, gereja, tentara, patriotisme,
kebersihan sosial, prostitusi) yang tidak dipertentangkan dengan nilai-nilai
sosialisme.
Sosialisme
berbicara dalam semua bahasa kemanusiaan yang berbudaya. Di dalam gerakan
sosialis ini, orang-orang dengan pemikiran yang berbeda-beda dan bermacam
temperamen, dengan masa lalu, hubungan sosial, dan kebiasaan hidup yang
berbeda-beda, mereka semua saling bekerja dan saling berseteru. Dan bila kaum
intelektual tetap “tidak memahami” sosialisme, bila semua ini tidak cukup untuk
membuat mereka, mendorong mereka untuk mengerti pentingnya gerakan sedunia ini
secara historis dan kultural, maka bukankah kita harus menarik kesimpulan bahwa
alasan dari ketidakpahaman ini sangatlah mendasar dan usaha-usaha untuk
mengatasi ini dengan teori dan tulisan adalah tidak berguna sama sekali?
Gagasan ini menonjol
bahkan lebih jelas bila kita melihat sejarah. Influks kaum intelektual yang
terbesar ke dalam gerakan sosialis – dan ini benar di seluruh negara Eropa –
terjadi di periode awal dari keberadaan partai pekerja, ketika partai tersebut
masih muda. Gelombang influks pertama ini membawa ahli-ahli teori dan politisi
yang paling terkemuka ke dalam Internasionale Kedua[4].
Semakin Sosial Demokrasi Eropa tumbuh besar, semakin banyak rakyat pekerja yang
bergabung, dan semakin lemah (bukan hanya secara relatif tetapi juga secara
absolut) influks elemen-elemen baru dari kaum intelektual. Koran Leipziger
Volkszeitung lama mencari dengan sia sia, melalui iklan koran, seorang
pekerja editor dengan pendidikan universitas.
Disini kita
terpaksa menerima sebuah kesimpulan, sebuah kesimpulan yang bertentangan dengan
Adler: semakin sosialisme menampakkan isinya secara tegas, semakin mudah bagi
setiap orang untuk memahami tugas sosialisme di dalam sejarah, dan semakin
kecut kaum intelektual terhadap sosialisme. Walaupun ini bukan berarti mereka
takut akan sosialisme sendiri; jelas kalau di negara-negara kapitalis Eropa
telah terjadi perubahan-perubahan sosial yang dalam yang menghalangi pergaulan
antara orang-orang universitas dengan buruh, pada saat yang sama dimana
perubahan-perubahan sosial tersebut telah memfasilitasi masuknya buruh ke dalam
gerakan sosialis.
Apa
perubahan-perubahan tersebut? Individu-individu, kelompok-kelompok, dan strata
kaum proletar yang paling cerdas telah bergabung dan sedang bergabung ke Sosial
Demokrasi. Pertumbuhan dan konsentrasi industri dan transportasi hanya
mempercepat proses ini. Sebuah proses yang sepenuhnya berbeda sedang terjadi di
dalam kelompok intelektual. Perkembangan kapitalisme yang besar dalam dua
dekade terakhir sudah mengikis lapisan atas dari kelas ini. Kekuatan
intelektual yang paling cakap, yakni mereka yang memiliki inisiatif dan
kreatifitas, telah dihisap oleh industri kapitalis, oleh sindikat-sindikat,
perusahaan-perusahaan rel dan perbankan, yang membayar mereka gaji yang sangat
besar untuk mengorganisasi rejim mereka.
Hanya kaum
intelektual kacangan yang tersisa untuk pelayanan negara dan kantor-kantor
pemerintah; dan editor-editor koran dari semua tendensi mengeluh mengenai
kekurangan “orang”. Dan perwakilan dari kaum intelektual semi-proletar yang
jumlahnya semakin meningkat, mereka tidak dapat lari dari kehidupan yang
selamanya tergantung pada orang lain dan secara material tidak aman. Bagi
mereka, yang melakukan fungsi yang tidak lengkap dan rendah mutunya di dalam
mekanisme kebudayaan yang besar, daya tarik kebudayaan yang diajukan oleh Adler
tidak cukup kuat dengan sendirinya untuk mengarahkan simpati politik mereka
kepada gerakan sosialis.
Terlebih
lagi adalah situasi dimana setiap kaum intelektual Eropa yang secara psikologi
bisa pindah ke kamp kolektivisme tidak memiliki harapan untuk bisa meraih
posisi yang berpengaruh di partai-partai proletar. Ini adalah satu hal yang
penting. Seorang buruh menjadi seorang sosialis sebagai sebuah bagian dari
keseluruhan, bersama-sama dengan kelasnya, dimana dia tidak punya prospek untuk
keluar dari kelasnya. Dia bahkan puas dengan perasaan persatuan moral dengan
rakyatnya, yang membuatnya lebih percaya diri dan kuat. Akan tetapi kaum
intelektual menjadi seorang sosialis sebagai seorang individu, dengan
memutuskan tali pusat kelasnya sebagai seorang individu, dan secara tak
terelakkan berusaha untuk menggunakan pengaruhnya sebagai seorang individu.
Tetapi disinilah dia terbentur oleh rintangan-rintangan – dan seiring waktu
berjalan rintangan ini semakin bertambah besar.
Pada
permulaan gerakan Sosial Demokrasi, setiap kaum intelektual yang bergabung ke
Sosial Demokrasi, bahkan bila dia bukan di atas rata-rata, dapat meraih sebuah
posisi di gerakan kelas pekerja. Sekarang setiap pendatang-baru menemukan, di
negara-negara Eropa Barat, struktur demokrasi kelas-pekerja yang kolosal sudah
eksis. Ribuan pemimpin buruh, yang secara otomatis datang dari kelas mereka,
membentuk sebuah aparatus yang solid dimana diatasnya berdiri veteran-veteran
aktivis buruh yang terhormat, yang memiliki otoritas, figur-figur yang telah
menjadi sejarah. Hanya seorang yang memiliki bakat luarbiasa yang dapat
berharap untuk meraih posisi kepemimpinan untuk dirinya – tetapi orang seperti
itu, daripada meloncati jurang menuju sebuah kamp yang asing baginya, dia
biasanya akan mengikuti jalan yang rintangannya paling kecil, yakni bekerja
sebagai pelayan negara atau industri.
Selain semua
itu, di antara kaum intelektual dan sosialisme berdiri sebuah tembok, yakni
aparatus organisasi Sosial Demokrasi. Aparatus organisasi ini membuat tidak
senang para intelektual yang memiliki simpati sosialis, karena aparatus ini
menuntut disiplin dan sikap menahan-diri; ini kadang tidak sesuai dengan
“oportunisme” mereka, dan juga kadang tidak sesuai dengan “radikalisme” mereka
yang berlebihan, dan ini menakdirkan mereka ke peran penonton yang ribut yang
terombang-ambing antara anarkisme dan liberalisme-nasional. Simplicissimus[5]adalah
panji ideologi mereka yang tertinggi. Dengan modifikasi yang berbeda-beda dan
dengan kadar yang berbeda-beda, fenomena ini terulang di semua negara di Eropa.
Orang-orang ini, lebih daripada kelompok-kelompok lainnya, terlalu sombong dan
terlalu sinis untuk bisa menerima arti penting kebudayaan dari sosialisme ke
dalam jiwa mereka. Hanya sedikit sekali “kaum ideolog” – dengan konotasi baik
dan buruknya – yang dapat meraih keyakinan sosialisme di bawah stimulus
pemikiran teori murni, dengan, sebagai titik tolak mereka, tuntutan hukum
seperti Anton Menger[6],
atau persyaratan teknik seperti Atlanticus[7].
Tetapi bahkan kasus-kasus seperti ini, seperti yang kita ketahui, biasanya tidak
bergerak terlalu jauh dari gerakan Sosial-Demokrasi, dan perjuangan kelas
proletar di dalam hubungan internalnya dengan sosialisme bagi mereka tetap
merupakan sebuah buku yang terkunci dengan tujuh segel.
***
Dengan
mempertimbangkan bahwa tidaklah mungkin memenangkan kaum intelektual ke
kolektivisme dengan sebuah program yang bersifat material, Adler sungguh benar.
Tetapi ini tidak berarti bahwa mungkin untuk memenangkan kaum intelektual
dengan cara apapun, dan juga tidak berarti bahwa kepentingan material segera
dan ikatan kelas tidak mempengaruhi kaum intelektual lebih dari prospek
historis-kebudayaan yang ditawarkan oleh sosialisme.
Bila kita
tidak ikutsertakan kaum intelektual yang secara langsung melayani rakyat
pekerja, sebagai doktornya buruh, pengacara buruh, dan sebagainya (sebuah
strata, yang secara umum, terdiri dari perwakilan yang kurang berbakat dari
profesi-profesi tersebut), maka kita bisa melihat bahwa kaum intelektual yang
paling penting dan berpengaruh mendapatkan penghidupannya dari laba industri,
uang sewa tanah, atau anggaran negara, dan oleh karena itu mereka secara
langsung atau tidak langsung bergantung pada kelas kapitalis atau negara
kapitalis.
Bila
dipertimbangkan secara abstrak, ketergantungan material ini hanya menihilkan aktivitas
politik militan dari kaum intelektual yang anti-kapitalis, tetapi tidak
menihilkan kebebasan spiritual mereka dari kelas [kapitalis - Ed.] yang
memberikan mereka penghidupan. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak begitu.
Justru karena karakter “spiritual” dari kerja kaum intelektual yang membuat
kaum intelektual secara tidak terelakkan membentuk sebuah ikatan spiritual
antara mereka dan kelas penguasa. Manajer-manajer pabrik dan insinyur-insinyur
pabrik dengan tanggungjawab administratif selalu menemukan diri mereka di dalam
antagonisme dengan para buruh, dimana mereka harus membela kepentingan kapital.
Jelas sekali
kalau fungsi yang harus mereka lakukan, pada analisa terakhir, merubah cara
berpikir mereka dan opini mereka terhadap diri mereka sendiri. Dokter dan
pengacara, walaupun karakter profesi mereka yang independen, harus selalu
berhubungan secara psikologi dengan klien-klien mereka. Seorang tukang listrik
dapat setiap hari memasang kabel listrik di kantor-kantor para menteri, bankir,
dan istri-istri gelap mereka, dan dirinya tetap terisolasi dari mereka. Ini
berbeda bagi seorang dokter, yang harus menemukan nada di dalam jiwa dan
suaranya yang sesuai dengan perasaan dan kebiasaan orang-orang tersebut [para
menteri, bankir, dsb – Ed.]. Terlebih lagi, hubungan semacam ini secara tidak
terelakkan terjadi bukan hanya di lapisan atas masyarakat borjuis.
Para suffragette
[perempuan yang membela hak memilih untuk perempuan – Ed.] dari London menyewa
pengacara pro-suffragette untuk membela mereka. Seorang dokter yang
mengobati istri-istri para jendral di Berlin atau istri-istri pemilik
toko-kecil “Kristen-Sosial” di Vienna, seorang pengacara yang membela kasus
ayah, saudara, dan suami mereka [para jendral dan pemilik toko-kecil tersebut –
Ed.] tidak bisa membiarkan dirinya merasa antusias mengenai prospek kebudayaan
kolektivisme. Semua ini benar bagi para penulis, artis, pemahat, seniman –
tidak secara langsung dan segera, tetapi tetap tak terelakkan. Mereka
menawarkan ke publik karya mereka atau kepribadian mereka, mereka tergantung
pada persetujuan dan uang mereka, dan oleh karena itu, secara terbuka atau
tertutup, mereka menundukkan kekreatifan mereka pada “monster besar” yang
mereka benci: kaum borjuis. Nasib para penulis “muda” Jerman – yang sudah semakin
menipis – menunjukkan kebenaran ini. Gorky, yang dijelaskan oleh kondisi epos
dimana dia tumbuh besar, adalah sebuah pengecualian yang hanya membuktikan
kebenaran ini: ketidakmampuan dia untuk mengadaptasi dirinya pada degenerasi
anti-revolusioner kaum intelektual secara cepat mengikis “popularitasnya”.
Disini
tersingkap sekali lagi perbedaan sosial antara kondisi kerja otak dan kerja
otot. Walaupun kerja pabrik memperbudak otot dan melemahkan badan, ia tidak
bisa menundukkan pikiran buruh. Semua kebijakan telah dicoba untuk menundukkan
pikiran buruh, di Swiss seperti di Rusia, yang terbukti tidak berguna. Otak
kaum buruh dari sudut pandang fisik lebih bebas. Penulis tidak harus bangun
tidur ketika ayam berkokok, di belakang punggung dokter tidak ada mandor,
kantong pengacara tidak diperiksa ketika dia meninggalkan pengadilan. Tetapi
sebagai gantinya, mereka [penulis, dokter, pengacara, dsb] bukan hanya harus
menjual tenaga-kerjanya, bukan hanya ototnya, tetapi seluruh kepribadiannya
sebagai seorang manusia – dan bukan karena rasa takut tetapi karena kewajiban.
Sebagai akibatnya, orang-orang ini tidak ingin melihat dan tidak bisa melihat
bahwa baju jas profesi mereka adalah hanya sebuah seragam penjara yang lebih
baik.
***
Pada
akhirnya, Adler sendiri tampak tidak puas dengan formulanya yang abstrak dan
pada dasarnya idealistik mengenai inter-relasi antara kaum intelektual dan
sosialisme. Di dalam propaganda dia sendiri, dia sesungguhnya berbicara bukan
kepada kelas pekerja otak yang memenuhi fungsi-fungsi tertentu di dalam
masyarakat borjuasi, tetapi kepada generasi muda kaum intelektual yang sekarang
hanya berada di tahapan persiapan untuk peran mereka di masa depan – yakni
kepada para pelajar. Bukti untuk ini bukan hanya dapat ditemukan pada siapa brosur
Adler ditujukan: “Kepada Serikat Mahasiswa Bebas di Vienna”, tetapi juga dari
nada brosur tersebut, agitasinya yang penuh semangat dan nada ceramahnya. Tidak
terpikir untuk bisa mengekspresikan diri sendiri seperti itu di hadapan para
profesor, penulis, pengacara, dokter. Nada seperti itu akan langsung tersumbat
di tenggorokan seseorang setelah beberapa kata. Oleh karena itu, terbatas oleh
kondisi material manusia yang harus dia kerjakan, Adler sendiri membatasi
tugasnya. Sang politisi memperbaiki formula teorinya. Pada akhirnya, ini adalah
perjuangan untuk mempengaruhi para pelajar.
Universitas
adalah tahap akhir pendidikan yang diorganisir oleh negara untuk anak-anak
kelas penguasa, seperti halnya barak-barak militer adalah institusi pendidikan
akhir untuk generasi muda kaum buruh dan tani. Barak membentuk kepatuhan dan
kedisiplinan yang dibutuhkan untuk fungsi-fungsi sosial yang akan dipenuhi
selanjutnya. Pada prinsipnya, universitas melatih kemampuan manajemen,
kepemimpinan, dan pemerintahan. Dari sudut ini, bahkan kelompok fraternitas
mahasiswa Jerman adalah institusi kelas yang penting, karena mereka menciptakan
tradisi yang menyatukan para ayah dan anak-anaknya, menguatkan kebanggaan
nasional, menanam kebiasaan-kebiasaan yang dibutuhkan di lingkungan borjuis,
dan, akhirnya, meninggalkan sebuah cap yang menandakan bahwa seseorang adalah
bagian dari kelas penguasa.
Orang-orang
yang melalui barak-barak, tentu saja, jauh lebih penting bagi partai Adler
dibandingkan mereka yang melalui universitas. Tetapi pada situasi sejarah
tertentu – yakni ketika, dengan perkembangan industri yang pesat, tentara
memiliki komposisi sosial dari kelas proletar seperti halnya di Jerman – partai
dapat mengatakan: “Saya tidak perlu pergi ke barak-barak. Cukup bagi saya untuk
mengantarkan sang buruh muda sejauh pintu barak dan yang paling penting adalah
menemui dia saat dia keluar lagi. Dia tidak akan meninggalkan saya, dia akan
tetap menjadi milik saya.” Tetapi dalam hal universitas, bila partai ingin
melakukan perjuangan independen untuk merekrut kaum intelektual, dia harus
mengatakan yang sebaliknya: “Hanya disini dan hanya sekarang, ketika sang
pemuda bebas dari keluarganya, dan ketika dia belum menjadi sandera dari
posisinya di dalam masyarakat, saya dapat merekrut dia ke dalam kelompok kita.
Sekarang atau tidak sama sekali.”
Di antara
kaum buruh, perbedaan antara “ayah” dan “anak” secara murni hanya perbedaan
umur. Di antara kaum intelektual perbedaannya bukan hanya perbedaan umur tetapi
juga perbedaan sosial. Kaum pelajar, tidak seperti kaum buruh muda dan ayahnya
sendiri, tidak memenuhi fungsi sosial apapun, tidak merasakan ketergantungan
langsung kepada kapital atau negara, dan – setidaknya secara objektif bila
bukan subjektif – bebas di dalam penilaiannya akan apa yang benar dan salah. Di
dalam periode ini semua yang ada di dalam dirinya sedang berkembang, prasangka
kelasnya tidak terbentuk seperti halnya juga ketertarikan ideologinya, masalah
hati nurani sangat penting baginya, untuk pertama kalinya pikirannya terbuka pada
generalisasi ilmu pengetahuan yang agung, segala sesuatu yang luar biasa hampir
menjadi sebuah kebutuhan psikologi baginya. Bila kolektivisme dapat menguasai
pikirannya, sekaranglah saatnya, dan kolektivisme dapat melakukan ini melalui
karakter ilmiahnya yang luhur yang menjadi basisnya dan isi kebudayaan yang
komprehensif dari tujuan-tujuannya, dan bukan melalui masalah “pisau dan garpu”
(baca masalah perut – Ed.) yang membosankan. Di poin terakhir ini Adler sungguh
benar.
Tetapi
disini juga kita sekali lagi harus berhenti di hadapan sebuah fakta yang jelas.
Bukan hanya kaum intelektual Eropa secara keseluruhan tetapi juga anak-anaknya,
sang pelajar, yang secara pasti tidak menunjukkan ketertarikan apapun terhadap
sosialisme. Ada sebuah tembok di antara partai buruh dan kaum pelajar. Mencoba
menjelaskan masalah ini hanya dengan alasan tidak cukupnya kerja agitasi, yang
belum mampu mendekati kaum intelektual dari sudut yang tepat, yakni apa yang
Adler coba jelaskan, berarti mengabaikan seluruh sejarah hubungan antara kaum
pelajar dan “rakyat”. Ini berarti melihat kaum pelajar sebagai sebuah kategori
intelektual dan moral dan bukan sebagai sebuah produk dari sejarah sosial.
Benar, ketergantungan mereka pada masyarakat borjuasi hanya mempengaruhi mereka
secara tidak langsung, melalui keluarga mereka, dan oleh karena itu
ketergantungan ini lemah.
Tetapi,
kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan kelas darimana kaum pelajar ini
berasal tercerminkan di dalam perasaan dan opini kaum pelajar dengan kekuatan
yang penuh, seperti sebuah resonator. Sepanjang seluruh sejarah – di dalam
momen-momen heroiknya yang paling hebat dan juga di dalam periode kebangkrutan
moral total – kaum pelajar Eropa telah menjadi barometer kelas borjuis yang
sensitif. Mereka menjadi ultra-revolusioner, dengan tulus hati dan terhormat
bergaul dengan rakyat, ketika masyarakat borjuis tidak ada jalan keluar kecuali
dengan revolusi. Mereka secara de facto menjadi kekuatan demokrasi borjuis
ketika kebangkrutan politik kelas borjuis mencegah mereka [kelas borjuis] untuk
memimpin revolusi, seperti yang terjadi di Vienna pada tahun 1848. Tetapi
mereka [kaum pelajar] juga menembaki kaum buruh pada bulan Juni pada tahun yang
sama, di Paris, ketika kaum borjuis dan kaum buruh saling berhadapan di
barikade yang berseberangan. Setelah peperangan Bismark telah menyatukan Jerman
dan memenuhi keinginan kelas borjuis, kaum pelajar Jerman dengan cepat menjadi
figur yang mabuk dengan bir dan penuh dengan kesombongan, yang bersama-sama
dengan pejabat militer Prusia selalu muncul di koran-koran satiris.
Di Austria,
para pelajar menjadi pembela eksklusifitas nasional dan sovisnisme[8]
militan, seiring dengan menajamnya konflik antara nasionalitas-nasionalitas
yang berbeda di negara tersebut untuk menguasai pemerintah. Dan tidak diragukan
bahwa di dalam semua transformasi sejarah ini, bahkan yang paling menjijikkan
sekalipun, kaum pelajar menunjukkan ketajaman politik, dan kesiapan untuk
berkorban, dan idealisme yang militan; kualitas-kualitas yang sangat diandalkan
oleh Adler. Walaupun kaum filistin[9]
berumur 30 atau 40 tidak akan mengambil resiko mengorbankannya wajahnya untuk
diremukan demi “kehormatan” yang abstrak, anaknya akan melakukan itu, dengan
semangat yang tinggi. Para pelajar Ukraina dan Polandia di Universitas Lvov
baru-baru ini menunjukkan sekali lagi kepada kita bahwa mereka bukan hanya tahu
bagaimana memimpin tendensi nasional atau politik sampai garis akhir tetapi
juga tahu bagaimana menyongsongkan dada mereka di depan moncong senjata.
Tahun lalu
para pelajar German di Prague siap menghadapi kekerasan massa untuk menunjukkan
di jalanan hak mereka untuk eksis sebagai sebuah masyarakat Jerman. Disini kita
saksikan idealisme militan – kadang-kadang seperti ayam jago – yang merupakan
karakteristik bukan dari sebuah kelas atau sebuah ide tetapi dari sebuah
kelompok-umur; di pihak yang lain, isi politik dari idealisme ini sepenuhnya
ditentukan oleh semangat historis kelas-kelas darimana para pelajar tersebut
berasal dan kemana dia akan kembali. Dan ini alami dan tidak terelakkan.
Pada analisa yang terakhir, semua
kelas yang kaya mengirim anak mereka ke universitas dan bila para pelajar ini,
ketika ada di universitas, menjadi sebuah tabula rasa (kertas kosong –
Ed.) dimana sosialisme dapat menulis pesannya, apa jadinya keturunan kelas dan
determinisme sejarah yang tua dan malang ini?
***
Kita tetap
harus memperjelas satu aspek lainnya, yang akan mendukung dan menentang Adler.
Satu-satunya
cara untuk menarik kaum intelektual ke sosialisme, menurut Adler, adalah dengan
mengedepankan tujuan akhir dari gerakan sosialis, di dalam keseluruhannya.
Tetapi tentu saja Adler tahu bahwa tujuan akhir ini menjadi semakin jelas dan
menjadi semakin lengkap seiring dengan progres konsentrasi industri,
proletarianisasi strata menengah dan intensifikasi antagonisme kelas. Terpisah
dari kehendak para pemimpin politik dan perbedaan-perbedaan dalam taktik
nasional, di Jerman “tujuan akhir” ini berdiri dengan jauh lebih jelas dan
lebih segera dibandingkan di Austria dan Itali. Tetapi proses sosial yang sama
ini, yakni intensifikasi pertentangan antara buruh dan kapital, mencegah kaum
intelektual dari menyeberang ke partai buruh. Jembatan antara kelas-kelas
runtuh, dan untuk menyeberang, seseorang harus melompati sebuah jurang yang
semakin dalam seiring dengan berlalunya waktu.
Oleh karena
ini, pararel dengan kondisi-kondisi yang secara objektif membuat lebih mudah
kaum intelektual untuk memahami secara teori esensi dari kolektivisme,
halangan-halangan sosial tumbuh semakin besar yang mencegah kaum intelektual
untuk bergabung dengan pasukan sosialis. Bergabung dengan gerakan sosialis di
negara maju manapun, dimana kehidupan sosial eksis, bukanlah sebuah tindakan
spekulatif, tetapi sebuah tindakan politik, dan disini kondisi sosial menang
melawan logika teori. Dan akhirnya ini berarti bahwa sekarang lebih sulit untuk
memenangkan kaum intelektual dibandingkan kemarin, dan akan lebih sulit esok
hari dibandingkan sekarang.
Akan tetapi,
di dalam proses ini juga ada sebuah “perpecahan di dalam proses yang berjalan
lambat ini”. Sikap kaum intelektual terhadap sosialisme, yang sudah kita
jelaskan sebagai sikap yang terasingkan yang semakin membesar dengan tumbuhnya
gerakan sosialis, dapat dan harus berubah secara pasti sebagai akibat dari
perubahan politik secara objektif yang akan menggeser perimbangan kekuatan
sosial secara radikal. Di antara gagasan-gagasan Adler, sebanyak ini yang
benar: bahwa kaum intelektual ingin mempertahankan eksploitasi kapitalis tidak
secara langsung dan tidak tanpa syarat, selama kaum intelektual secara materi tergantung
pada kelas kapitalis.
Kaum
intelektual bisa menyeberang ke kolektivisme bila mereka dapat melihat
kemungkinan kemenangan kolektivisme yang segera, bila kolektivisme
muncul di hadapan mereka bukan sebagai sebuah idealisme dari kelas yang berbeda,
jauh, dan asing [baca kelas buruh – Ed.] tetapi sebagai sesuatu yang dekat dan
nyata; dan akhirnya, bila – dan ini bukan kondisi yang paling tidak penting –
perpecahan politik dengan kelas borjuis tidak mengancam setiap pekerja-otak
dengan konsekuensi materi dan moral yang menyeramkan. Kondisi-kondisi seperti
itu hanya bisa diciptakan bagi kaum intelektual Eropa melalui kekuasaan politik
sebuah kelas sosial yang baru; dan sedikit banyak melalui sebuah periode
perjuangan langusng dan segera untuk kekuasaan tersebut. Apapun yang menjadi
sebab keterasingan kaum intelektual Eropa dari rakyat pekerja – dan
keterasingan ini akan tumbuh semakin besar, terutama di negara-negara kapitalis
muda seperti Austria, Itali, dan negara-negara Balkan – di sebuah epos rekonstruksi
sosial yang hebat kaum intelektual – mungkin lebih awal dari pada kelas-kelas intermediate
lainnya – menyeberang ke sisi pembela masyakarat yang baru.
Sebuah peran
yang besar akan dimainkan oleh kualitas sosial kaum intelektual dalam
koneksinya dengan ini, yang membedakan mereka dari kelas borjuis kecil
komersial dan industrial dan kelas tani: hubungan okupasinya dengan cabang
kebudayaan kerja sosial, kapasitasnya dalam menggeneralisasi teori,
fleksibilitas dan mobilitas cara berpikirnya; pendeknya, intelektualitas
mereka. Dihadapi dengan kenyataan pemindahan seluruh aparatus masyarakat ke
tangan yang baru [baca kelas buruh – Ed.], kaum intelektual Eropa akan mampu
meyakinkan diri mereka bahwa kondisi baru yang tercipta ini tidak akan
mencampakkan mereka ke jurang dalam tetapi justru akan membuka peluang-peluang
yang tak terbatas bagi mereka untuk mengaplikasikan kekuatan-kekuatan teknik,
organisasi, dan ilmiah; dan mereka akan bisa membawa ke depan kekuatan-kekuatan
tersebut dari barisan mereka, bahkan pada periode awal yang sangat kritis
ketika rejim yang baru harus menghadapi kesulitan-kesulitan teknik, sosial, dan
politik yang besar.
Tetapi bila
penaklukan aparatus masyarakat tergantung sebelumnya pada bergabungnya
kaum intelektual ke partai kaum proletar Eropa, maka prospek kolektivisme
sangatlah buruk – karena, seperti yang sudah kita coba tunjukkan di atas,
bergabungnya kaum intelektual ke Sosial Demokrasi di dalam kerangka rejim
borjuis, berlawanan dengan harapan-harapan Max Adler, menjadi semakin mustahil
seiring dengan berlalunya waktu.
Catatan
[1] Partai
Sosialis Revolusioner dibentuk pada tahun 1902, mewarisi banyak ide dan praktek
dari Partai Kehendak Rakyat dan Narodniki. Mereka menekankan bahwa kaum
tani adalah kelas yang revolusioner, bukan pekerja kota. Pada tahun 1917,
partai SR pecah menjadi SR Kiri dan SR Kanan. SR Kanan mendukung Pemerintahan
Sementara sedangkan SR Kiri beragitasi untuk penggulingannya. Dengan munculnya
pemerintahan Soviet, SR Kiri bergabung dengannya namun SR Kanan meneruskan
taktik teroris mereka dan akhirnya dilarang.
[2] Max Adler
(1873-1937) adalah seorang kaum intelektual, politisi, dan ahli filosofi dari
Austria. Dia adalah perwakilan dari garis pemikiran Austromarxisme.
[3] Sebelum
tahun 1914, semua kaum Marxis and Sosialis menyebut diri mereka sebagai kaum
Sosial Demokrat. Setelah pengkhianatan parta-partai Sosial Demokrasi yang
mendukung Perang Dunia Pertama (tahun 1914), kaum Marxis revolusioner
mencampakkan nama Sosial Demokrasi untuk memisahkan diri mereka dari kaum
reformis.
[4]
Internasional Kedua - Pada tahun 1880, Partai Sosial Demokrat Jerman mendukung
seruan dari kamerad-kamerad Belgia untuk mengadakan kongres sosialis
internasional pada tahun 1881. Kota kecil bernama Chur dipilih dan kaum sosialis
Belgia, Parti Ouvrier dari Perancis, Sosial Demokrat Jerman dan Sosial Demokrat
Swiss berpartisipasi dalam persiapan kongres yang akhirnya menuju pada
pembentukan Sosialis Internasional atau Internasionale Kedua. Tidak seperti
Internasionale Pertama, Internasionale Kedua terdiri dari partai-partai politik
yang memiliki pemimpin terpilih, program politik dan keanggotaan yang
berbasiskan di negerinya masing-masing. Seksi nasional dari Internasionale
Kedua membangun serikat buruh, terlibat dalam pemilihan umum dan sangat
terlibat dalam kehidupan klas pekerja di negerinya masing-masing.
Permulaan Perang Besar pada tahun
1914 dan krisis nasional dan revolusioner yang disebabkan perang menyebabkan
krisis didalam Internasionale Kedua. Kaum Sosial Demokrat bertemu di Zimmerwald
pada tahun 1915 untuk mencoba membentuk platform oposisi bersama terhadap
pembantaian yang terjadi dalam Perang. Konferensi Zimmerwald gagal untuk
menyatukan kaum Sosial Demokrat ataupun mengakhiri Perang. Namun konferensi
tersebut mampu menyatukan sebuah Sayap Kiri yang mendukung Revolusi Rusia dan
memberikan basis bagi Internasional Ketiga (Komunis Internasional).
Tokoh-tokoh utama dalam gerakan
pekerja internasional dalam periode ini adalah: Karl Kautsky, Rosa Luxemburg,
Karl Liebknecht, G V Plekhanov, August Bebel, Clara Zetkin, Daniel De Leon,
Franz Mehring dan V I Lenin.
[5]
Simplicissimus adalah sebuah majalah satiris mingguan yang
diterbitkan di Jerman pada tahun 1896. Ini adalah koran kaum intelektual
liberal.
[6] Anton
Menger (1841-1906) adalah seorang profesor hukum dari Austria. Dia menulis
banyak buku mengenai reformasi hukum untuk membela hak-hak rakyat miskin dan
buruh. Beberapa buku yang dia tulis di antaranya: Hak untuk memiliki seluruh
hasil produksi dan Hukum sipil dan kaum miskin.
[7] Atlanticus,
nama pena Karl Ballod atau Karlis Balodis (1864-1931), seorang ahli statistik
ekonomi dari Latvia. Menjabat sebagai profesor di Universitas Berlin. Dia
menulis banyak buku mengenai ekonomi sosialisme dan terlibat di dalam
perencanaan proses ekonomi Uni Soviet.
Comments
Post a Comment