SILSILAH TAROMBO MARGA SIREGAR.

Pengkhianatan Kaum Intelektual

Image result for intelektual
Oleh 
Mahmudi
Pidato kebudayaan Prof Dr Syafi'i Ma'arif bertajuk Penghianatan Intelektual Indonesia. Perspektif Kebudayaan di TIM Jakarta, baru-baru ini sangat menarik dicermati. Menurut mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini, bangsa ini terpuruk pada krisis multidimensional karena telah terjadi pengkhianatan kaum intelektual. Parahnya, pengkhianatan itu bukan hanya dilakukan oleh kaum intelektual, tetapi juga telah merambah pada tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang memiliki signifikansi peran dalam menentukan kemajuan masa depan bangsa, seperti kaum ulama, pemuka agama dan pelaku bisnis, dan para pejabat negara yang bersentuhan langsung dengan proses pengambilan kebijakan publik dan politik.

Yang sangat menarik, peran dan fungsi kontrol sosial (social control) kaum intelektual di negeri ini dinilainya bukan saja kian melemah. Tetapi, mereka juga telah mengkhianati cita-cita luhur para pendiri bangsa, khususnya dalam upaya membangun masyarakat berperadaban, adil, makmur dan sejahtera. Buktinya, banyak sekali para pejabat negara yang dewasa ini melakukan korupsi dan berbagai bentuk kejahatan lainnya dengan topeng kekuasaan.

Padahal, mestinya kaum intelektual itu melakukan kritik yang membangun terhadap seluruh kebijakan publik dan politik di negeri ini. Sementara mereka yang berada di sentra-sentra kekuasaan mestinya hanya bekerja dan mengabdi pada masa depan kemajuan bangsa dan negara, bukan memanfaatkan kekuasaan itu semata mengejar keuntungan yang bersifat finansial guna menumpuk kekayaan diri sendiri.

Dalam konteks sejarah, penegasan Prof Dr Syafi'i Ma'arif memiliki kesamaan paradigmatik dengan tuduhan Julien Benda atas kaum intelektual Perancis. Dalam pandangan Benda, kaum intelektual Perancis saat itu telah memrostitusikan ilmu pengetahuannya guna melegitimasi kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan. (S Tasrif, 1980: 111).

Memang, dewasa ini banyak kalangan menyangsikan peran kaum intelektual, terutama manakala mereka berada dalam struktur kekuasaan. Pertanyaan yang seringkali mengemuka adalah, apakah kehadiran kaum intelektual dalam pentas politik akan berdampak pada melemahnya fungsi kontrol sosial mereka sebagai agent of social change and moral force? Pertanyaan ini tidak terhindarkan, karena kaum intelektual acapkali menjadi "mandul" manakala berada dalam struktur kekuasaan. Eksistensi mereka tidak lagi sebagai man of ideas, tetapi berubah secara mendadak menjadi robot-robat kekuasaan belaka. Kaum elite intelektual yang terjebak dalam struktur kekuasaan menjadi sangat pragmatis, hedonis dan materialistis sehingga perilaku korupsi menjadi satu trend mode para pejabat publik.

Perdebatan seputar peran strategi perjuangan kaum intelektual pada umumnya mengarah pada dua titik yang secara struktural tidak memiliki kesamaan persepsi dan orientasi.

Pertama, di satu pihak berpendapat bahwa kaum intelektual sebaiknya berjuang di luar rank struktur kekuasaan dan politik. Mereka harus menjaga jarak dengan kekuasaan dan politik itu. Jika tidak, mereka tidak akan mampu melakukan kritik sosial, kritik yang konstruktif bagi pembangunan masa depan bangsa. (Prof Dr RC Kwant, 1975: 16). Fenomena ini didasarkan pada persepsi bahwa kekuasaan memiliki karakter yang cenderung melakukan korupsi dan segala bentuk penyelewengan lain yang merugikan kehidupan sosial, masyarakat, bangsa dan negara. Sementara ideologi kaum intelektual adalah kebenaran. Oleh karena itu, dalam kerangka pemikiran ini kaum intelektual disarankan agar tidak mendekati sentra-sentra politik dan kekuasaan.

Kedua, kaum intelektual justru disarankan dan bahkan harus menjadi pelaku politik dan kekuasaan itu sendiri. Karena dengan menjadi subyek politik dan kekuasaan, kaum intelektual dengan mudah melakukan transformasi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran yang merupakan substansi ideologi kaum intelektual. Suatu kerangka pemikiran yang memiliki nilai-nilai universal, yang memungkinkan manusia memperoleh hak dan kewajibannya.

Meminjam penjelasan Kuntowijoyo, untuk membangun masa depan kehidupan berbangsa yang civilized, umat manusia harus berani melakukan pergeseran paradigma: dari ideologi ke ilmu pengetahuan yang lebih terbuka, objektif dan faktual. Dengan paradigma ilmu pengetahuan itu, kaum intelektual tidak lagi hidup dalam kegamangan identitas. Tugas kaum intelektual bukanlah untuk mengabdi kepada kepentingan-kepentingan politik tetapi untuk mempertahankan nilai-nilai abadi yang abstrak dan berlaku bagi setiap zaman. (S Tasrif, 1980: 112) Nilai-nilai itu adalah kebenaran, keadilan dan rasio (La justice, La Verite et La Raison). Hal ini penting karena sebuah ideologi cenderung tertutup, normatif dan sangat subjektif. (Kuntowijoyo, 1997: 22).

Dalam kerangka pemikiran ini -- setelah dibukanya kran demokrasi di era reformasi -- sejatinya patut kita dukung kaum intelektual yang hendak berjuang lewat struktur politik dan kekuasaan manakala dapat berfungsi sebagai satu strategi dalam perjuangan membangun masa depan bangsa yang lebih baik.

Haruslah ditegaskan bahwa kaum intelektual mesti senantiasa membangun budaya kritis melampaui batas ruang dan waktu; kapan dan di mana pun. Salah satu "kesalahan" kaum akademisi atau intelektual kontemporer adalah hilangnya kritisisme dalam membangun teori atau paradigma pemikiran yang hanya mengikuti para pendahulunya, tanpa ada kritik sesuai perkembangan sosio-kultural.

Dalam konteks perkembangan sosio-kultural di Indonesia yang secara sosiologis dan antropologis sangat terstruktur, maka tampilnya kaum cendekiawan ke pentas politik justru menemukan relevansinya. Meminjam penjelasan Donald Eugene Smith (1985), bahwa para tokoh masyarakat, termasuk kaum intelektual dan agama atau fungsionaris agama mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap suasana "pembangunan stabilitas" politik.

kalaupun kemudian terjadi pengkhianatan kaum intelektual, hal ini merupakan implikasi dari persoalan sosial politik di negeri ini, terutama terkait masalah lemahnya sistem dan mekanisme kontrol sosial atas kekuasaan selama ini. Tugas dan ideologi kaum intelektual adalah membangun kebenaran demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal. Tentu saja kaum cendekiawan dituntut dapat menempatkan posisi dirinya secara arif di tengah dan untuk masyarakat, secara terus-menerus dan sadar menugaskan dirinya untuk mengindahkan problematika sosial dan secara jernih mencari solusinya. Wallahu a'lam!


Penulis peneliti pada Himpunan untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (HP2M) Jakarta, kader HMI.