- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Oleh Dadang Nurjaman (Jurusan Pendidikan
Agama Islam, Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati Bandung)
A. Biografi
Ali Syari’ati
Ali
Syari’ati lahir 23 Nopember 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyhad dan
Sabzavar, propinsi Khorasan Iran dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani.
Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah
panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemakaman Ali Al-Ridha.
Kehidupan Syari’ati atau Ali Mazinani berakar di pedesaan dan di sanalah
pandangannya pertama kali dibentuk. Guru pertama kalinya adalah ayahnya sendiri
yang memutuskan mengajar di kota Masyhad. Pada awal 1940-an, ayah Ali Mazinani
mendirikan usaha penerbitan bernama “Pusat Penyebaran Kebenaran Islam” (The
Center for Propagation of Islamic Truth) yang bertujuan untuk kebangkitan Islam
sebagai agama yang sarat dengan kewajiban dan komitmen sosial. Pada dekade ini,
ayah Syari’ati membentuk cabang organisasi Nehzat-I Khodaparastan-I Sosiyalist
(The Movement of God-worshiping Socialist, Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis. Ia
membahas gagasan pemikir modern, khususnya para pemikir Sosialisme Arab dan
sejarahwan Khazrawi, tokoh yang dibenci para Mullah Iran. Karenanya ia dicap
sebagai “sunni”, “wahabi”, bahkan “baabisme” oleh beberapa ulama (h. 13). Dari
ayahnya inilah semangat non-konvensional – dan oposisi – Ali Mazinani
terbentuk.
Sementara
dari pihak ibu, kakeknya, Akhun Hakim adalah sosok ulama yang kisah hidupnya
turut menginspirasi Ali Mazinani. Pamannya adalah murid dari ulama terkemuka
Adib Nishapuri, yang setelah belajar filsafat, fiqh, dan sastra, – mengikuti
jejak leluhurnya – memilih kembali ke Mazinan.
Ali Syari’ati merupakan anak yang
dibesarkan dengan tradisi keislaman yang kuat, sang ayah Muhammad Taqi
Syari’ati berasal dari keluarga ulama sejak beberapa generasi walaupun pada
akhirnya lebih memilih untuk bergerak dalam bidang akademik dengan menjadi
tenaga pendidik bagi generasi-generasi muda Iran pada waktu itu. Muhammad Taqi
Syari’ati merupakan ayah sekaligus guru bagi Ali Syari’ati yang mengajarkan
banyak hal dan mendasar bagi perkembangan Ali Syari’ati. Ia mengajarkan bahwa
moralitas dan etikalah yang mengangkat status dan kehormatan sosial seseorang
dan bukanlah uang.
Ketika teman-temannya yang lain giat
untuk pergi kesekolah, Ali lebih suka menghabiskan waktunya dengan membaca
buku-buku diperpustakaan ayahnya. Ia pun banyak mempelajari buku-buku yang
berkaitan dengan masalah-masalah filsafat, mistik, dan sufisme (karya sufi-sufi
besar, seperti al-Hallaj, al-Junayd, Qadi Abu Yusuf, Syabastari, Qusyairi, Abu
Said Abu al-Khayr, Abu Yazid al-Bustami, Ayn al-Qudat al-Hamadani, dan Maulana
Jalaluddin Rumi). Syari’ati juga telah banyak membaca buku-buku tafsir Alquran,
sastra, puisi, sejarah Islam, dan tentu saja buku-buku politik.
Ali Syari’ati lahir ditengah kondisi
dimana degradasi peran agamawan (ulama) yang hanya menjadikan agama sebagai
ritual batin antara hamba dan sang pencipta tanpa peduli terhadap keterpurukan
masyarakatnya. ulama tidak memainkan perannya sebagai pemimpin yang tercerahkan
yang akan memandu masyarakat menggapai kebahagiaan spiritual dan material.
kekeritisannya dalam praktek2 islam yang seperti itu (islam shi’ah) banyak
didasari dari ide-ide Ahmad Kasravi seorang ulama tradisional yang awalnya
reformer syi’ah namun berubah menjadi anti syi’ah. Gagasan-gagasannya dalam
memajukan kebebasan rakyat Iran bertujuan untuk menangkal segala macam bentuk
penindasan dan mengajak kepada kebaikan harus berbenturan dengan dogma-dogma
penguasa dan ulama bahkan kabarnya hal inilah yang diduga menjadi penyebab
kematiannya yang misterius, sayangnya didalam buku ini tidak dibahas lebih
lanjut mengenai hal tersebut.
Ali Syari’ati adalah sebuah nama
yang tak asing lagi bagi kebanyakan kalangan umat Islam, termasuk di Indonesia.
Kemashurannya bisa disandingkan dengan tokoh-tokoh Republik Islam Iran lainnya,
seperti Imam Khomeini, Murtadha Muthahhari, dan Allamah Thaba’thabai. Nama-nama
mereka cukup familier di telinga umat Islam Indonesia.
Seperti
tokoh-tokoh Iran lainnya, ketokohan dan intelektualitas Syari’ati semakin
populer bagi masyarakat Muslim Indonesia setelah Revolusi Iran meletus pada
1979. Apalagi setelah buku-bukunya, misalnya “Kritik Islam atas Marxisme dan
Sesat-Pikir Barat Lainnya”, “Islam Agama Protes”, dan “Haji” diterjemahkan dan
diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Kini, sosok,
latar belakang, aktivitas, dan pemikiran Syari’ati bisa dibaca dan ditelaah
lebih dalam melalui buku karya Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik
Intelektual Revolusioner. Melalui buku itu Syaria’ti semakin mudah dipahami
masyarakat Indonesia. Dalam buku itu Rahnema memaparkan sisi-sisi kehidupan Ali
Syari’ti, mulai dari masa kecil, pendidikan, politik, hingga kematiannya dalam
pengasingan pada umur 44 tahun, usia yang relatif muda. Rahnema memotret
perjalanan kehidupan dan aktivitas politik Syari’ati sebagai seorang pemikir
religius dan aktivis revolusioner.
Inilah
satu-satunya buku biografi Ali Syari’ati yang kini diterbitkan dalam edisi
Indonesia dan ditulis dengan data lengkap, mendalam, dan mendetail. Rahnema
tidak hanya menjelaskan liku-liku dramatis dan tragis perjalanan kehidupan
Syari’ati, tetapi juga memaparkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, dan politik
yang mengitarinya. Dengan objektivitas akademisnya, tapi tetap simpati dan
hormat, guru besar dalam bidang ilmu ekonomi pada American University, Paris,
ini berhasil merekam dan menawarkan pemahaman baru tentang sosok dan figur
Syari’ati yang posisinya di dalam Revolusi Iran cukup penting dan
diperhitungkan.
Buku
biografi Ali Syari’ati ini melanjutkan dan memperkukuh tradisi penulisan
riwayat hidup seseorang yang telah berlangsung selama 15 abad lebih. Tradisi
penulisan biografi ini bisa dilacak pada masa-masa awal Islam yang biasa
disebut sirah. Penulis biografi Nabi Muhammad saw paling awal adalah Aban ibn
Utsman ibn Affan (w. 105/723)—putra Khalifah Utsman ibn Affan yang lahir 10
tahun setelah Nabi wafat. Penulis pertama yang menggunakan istilah sirah atau
biografi ialah Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri yang merekonstruksi
sirah Nabi dengan struktur yang baku, dan menggariskan kerangka dalam bentuk
yang jelas.
Biografi
adalah sirah, sekaligus tuntunan, anutan, sejarah, dan masa lalu yang sangat
layak dipelajari dan dikaji untuk kehidupan masa depan. Karena itu, sebuah buku
biografi, termasuk buku biografi Ali Syari’ti ini bisa menjadi uswah hasanah
bagi perilaku teladan kehidupan dan pemikiran seseorang dan masyarakat luas
umumnya. Dengan demikian, biografi Syari’ati ini layak dijadikan sebagai sumber
referensi untuk merumuskan masa depan pemikiran dan aktivitas politik umat
Islam, termasuk pula bagi masyarakat Indonesia.
Biografi
Syari’ati karya Rahnema ini tampaknya mengikuti gaya dan model penulisan
biografi klasik yang biasanya menggunakan pendekatan kronologis—ditulis secara
berurutan dan terinci sesuai dengan masa-masa terjadinya suatu kisah atau
peristiwa kehidupan. Biografi semacam ini sering disebut sejarah kronologis
atau sejarah ‘urut kacang’, dan banyak digunakan para penulis biografi. Inilah
cara penulisan biografi yang paling sederhana, akurat, dan tidak terlalu rumit
untuk menjelaskan dan memaparkan rincian-rincian dasar perikehidupan seseorang.
Karena
kronologis, penulisan biografi klasik biasanya dimulai dengan penggambaran
kehidupan seseorang dari prakelahiran, kelahiran, masa kanak-kanak, keluarga,
perkawinan, pendidikan, aktivitas, pemikiran, pemberontakan, pemenjaraan,
hingga masa-masa akhir hidupnya, seperti tampak jelas pada biografi Syari’ati
yang ditulis Rahnema ini.
Buku yang
terdiri atas 23 bab ini dimulai dengan pemaparan Rahnema tentang kondisi
politik dan religius yang melatarbelakangi prakelahiran Syari’ati dan
keluarganya, yang ditulisnya hingga tiga bab.
Dalam bab
empat, Rahnema baru memaparkan tentang masa kecil dan masa dewasa yang dilalui
Syari’ati. Seperti disebutkan Rahnema, pikiran dan ide-ide Syari’ati dibentuk oleh
bacaan yang diperolehnya selama masa pendidikan (h. 69-73). Bacaan-bacaan
Syari’ati cukup beragam, dan memengaruhi pola pikir dan ide. Daftar bacaannya
berjalan melalui sebuah transformasi radikal pada saat dia mulai masuk ke
sekolah dasar sampai ke sekolah menengah.
Di sekolah
dasar, Syari’ati telah membaca berbagai jenis buku seperti karya Victor Hugo
Les Miserables, Que sais-je, History of Cinema, dan buku populer yang best
seller seperti Zan-e- Mast. Di tingkat sekolah menengah, Syari’ati mulai mempelajari
buku-buku yang berkaitan dengan masalah-masalah filsafat, mistik, dan sufisme.
Dalam bidang filsafat, ia melahap karya-karya filosof Jerman, seperti Arthur
Schopenhauer, Franz Kafka, dan penyair besar Jerman Anatole France. Ia memiliki
kenangan pertama terhadap karya-karya Maurice Maeterlink. Ia mengacu kepada
penulis dan penyair simbolik dari Belgia ini sebagai pemandu dalam
merefleksikan dan memeditasikan kebenaran yang ada di balik realitas.
Adapun
literatur sufi yang dibaca Syari’ati adalah karya sufi besar seperti al-Hallaj,
al-Junayd, Qadi Abu Yusuf, Syabastari, Qusyairi, Abu Said Abu al-Khayr, Abu
Yazid al-Bustami, Ayn al-Qudat al-Hamadani, dan Maulana Jalaluddin Rumi. Dalam
masa-masa tersebut, seperti dijelaskan Rahnema, Syari’ati juga telah membaca
buku-buku tafsir Al-Quran, sastra, puisi, sejarah Islam, dan tentu saja
buku-buku politik.
Dalam
bab-bab berikutnya, khususnya bab lima, Rahnema memaparkan keterlibatan
Syari’ati dalam aktivitas politik. Syari’ati, jelas Rahnema, secara efektif memulai
aktivitas politiknya ketika menjadi mahasiswa pada institut keguruan. Baru pada
1950, Syari’ati menjadi anggota aktif dalam sebuah partai politik. Namun,
dasar-dasar kesadaran sosial politiknya telah ia tanam pada Pusat Penyebaran
Kebenaran Islam ketika ia masih berusia 15 tahun. Dalam perkembangan
berikutnya, Syari’ati dapat digolongkan sebagai seorang agitator dan pemimpin
politik, dan tentu saja tidak mengesampingkan tulis-menulis sebagai kegiatan
utamanya. Antara periode 1951-1955, Syari’ati secara produktif menulis
artikel-artikel tentang sosial politik.
Dalam
artikel-artikelnya, papar Rahnema, Syari’ati menyerukan penerapan konsep Islam
tentang al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (mengajak kepada kebaikan
dan mencegah dari perbuatan mungkar) ke wilayah sosial politik. Konsep Islam
ini merupakan sebuah tanggung jawab sosial yang diwajibkan atas semua orang. Di
tangan para agamawan tradisional, konsep Islam ini hanya dipahami dalam
batas-batas ibadah. Konsep ini sebenarnya bisa diimplikasikan dan
dimanifestasikan ke dalam kehidupan kontemporer, yaitu untuk mencegah
kemungkaran sosial politik. Misalnya, berjuang menentang imperialisme
internasional, zionisme, kolonialisme dan neo-kolonialisme, kediktatoran,
pertentangan kelas, rasisme, imperialisme kebudayaan, dan westernisme.
Dengan
pemahaman semacam itu, jelas Rahnema, Syari’ati sebenarnya ‘mengumandangkan’
bahwa ‘mengajak’ kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran bukan monopoli
agamawan, tapi menjadi tanggung jawab social; dan dalam konteks wilayah sosial
politik, tanggung jawab sosial itu menjadi kewajiban setiap Muslim. Kewajiban
itu tidak hanya berupa nasihat, tapi sebagai ajakan yang mengikat dan didukung
oleh kekuatan. Kewajiban itu mustahil dilaksanakan tanpa memerangi
ketidakadilan dan perilaku jahat (hal. 474-475).
Memahami
pergolakaan Republik Islam Iran dewasa ini tidak bisa dilepaskan revolusi yang
dipimpin oleh Ayatullah Humaini (1979) yang tidak hanya menjadi momentum
perubahan pemerintahan internasional menuju pemerintahan Republik Islam Iran,
namun juga merupakan manifestasi politik otentisitas berbasis identitas agama
yang menentang supremasi universalitas Barat, terutama AS.
Di tangan
Humaini, Iran berani dengan lantang mendekontruksi hegemoni Barat yang diklaim
superior atas segala kebijakan perubahan dunia. Dari jejak Humaini ini, tidak
salah kalau sekarang Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad begitu lantang menentang
Barat yang mau melucuti praktek nuklir yang dilakukan Iran.
Namun
demikian, memahami Iran sekarang hanya melihat Ayatullah Humaini tidaklah
lengkap kalau tidak dibarengi membedah jejak sosok misterius yang meninggal di
London. Bagi penulis, ia adalah salah seorang tokoh yang membantu perjuangan
Imam Khomeini dalam menjatuhkan rezim Syah Iran yang lalim, untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan menurut ajaran Islam. Doktor sastra lulusan Universitas
Sorbonne Perancis ini berjuang tak kenal lelah dan takut. Selama hidupnya ia
mengabdikan dirinya untuk membangunkan masyarakat Islam Iran dari belenggu
kezaliman.
Syariati,
anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra, lahir pada 24 November 1933. Bertepatan
dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai
mengajar di sebuah sekolah dasar, Syerafat. ia lahir dalam keluarga
terhormat. Dalam keluarga ini ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama. Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya asyik bermain, Syariati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserable karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamannya di sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi keagamaan di perpustakaan ayahnya yang berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya.
terhormat. Dalam keluarga ini ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama. Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya asyik bermain, Syariati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserable karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamannya di sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi keagamaan di perpustakaan ayahnya yang berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya.
Pada 1955,
Syariati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan.
Selama di universitas, sekalipun menghadapi persoalan administratif akibat
pekerjaan resminya sebagai guru full-time, Syariati paling tinggi rangkingnya
di kelas. Bakat, pengetahuan dan kesukaannya kepada sastra menjadikannya
popular di kalangan mahasiswa. Karena prestasi akademisnya di Universitas ini,
dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi keluar negeri. Pada April 1959,
Syariati pergi ke Paris sendirian. Istri dan putranya yang baru lahir, bernama
Ehsan bergabung dengannya setahun kemudian.
Selama di
Paris, Syariati berkenakan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang
mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia.
Dia mengikuti kuliah-kuliah para akademisi, filosof, penyair, militan, dan
membaca karya-karya mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta
mengamati karya-karya seniman dan pemahat. Dari masing-masing mereka ia
mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi kepada mereka. Di sinilah
Syariati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual barat antara lain Louis
Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lain-lain.
Walaupun
berada di Paris, namun pribadi Syariati yang penuh dengan semangat perjuangan
menegakkan kebenaran dan keadilan, ia tetap berjuang menentang rezim Iran.
Antara 1962 dan 1963, waktu Syariati tampaknya habis tersita untuk aktivitas
politik dan jurnalistiknya. Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang dan gerakan
politiknya yang menggugah semangat kaum muda menjadikan dia sebagai figur
oposan yang sangat spektakuler dalam merubah tatanan politik atas yang
dihegemoni Syah Pahlevi. Karena wataknya yang kritis, sekembalinya di Iran
dengan gelar doktoral tahun 1963, ia menjadi sosok yang kharismatis yang
kuliah-kuliahnya di universitas Masyhad sangat memukau dan memikat audiens,
karena isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir.
Karena
begitu kharismatis, akhirnya pemerintahan Syah Pahlevi berang. Karena merasa
terancam, pada 16 Mei 1977, Syariati meninggalkan Iran. Tentara Syah, SAVAK
akhirnya mengetahui kepergian Ali Syariati mereka mengontak agen mereka di luar
negeri. Di London Inggeris, pada 19 Juni 1977 jenasah Ali Syariati terbujur di
lantai tempat ia menginap. Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang
teguh memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam memperjuangkan apa yang
dianggapnya benar. Ali Syariati telah mengkuti jejak sahabat Nabi dan Imam Ali
yang begitu dikagumi dan dijadikan simbol perjuangannya, Abu Dzar Al-Ghifari.
(IC).
B.
Karya-karya Ali Syari’ati
Karya-karya
Ali Syari’ati yang masih dalam bahsa inggris sebagai berikut :
1. A Glance
at Tomorrow’s History, 1985, p.24.
2. An
Approach to Understanding of Islam , Trans, Venus Kaivantash (The Shariati,
Foundation, and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
3. And Once
again Abu Dhar, 1985, p, 75.
4. Art
Awaiting The Saviour , Trans, Homa Farjadi (Shariati Foundation and Hamdami
Publishers, Tehran 1979).
5.
Capitalism Wakes UP?, Trans Mahmoud Mogscni, (The Ministry of Islamic Guidance,
Tehran, 1981).
6.
Civilization and modernization, (Aligarh, Iranian Students Islamic Association,
1979).
7. Culture
an Ideology, 1980, p.23.
8. Fatima is
Fatima, Trans, Laleh Bakhtiar (Shariati Foundation and Hamdami Publishers,
Tehran, 1980).
9. From
Where Shall we Begin and Machine in the Captivity of Machinism, 1980, p.52.
11. Man and
Islam, Trans, Ghulam M.Fayez (University of Mashhad Press, Mashad, Jahad
Publications, 1982).
12.
Martyrdom, Arise and Bear Witness, Trans, Ali Asghar Ghassemy (Ministy of
Islamic Gudance, Tehran, 1981).
13. Marxism
and Other Western Fallacies: An Islamic Critique, Tran’s, R. Campbell (Berkely,
Mizan Press, 1981).
14. One
Followed By An Eternity of Zeros , Trans, Ali Asghar Ghassemy (The Hosseiniyeh
Ershad and the Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
15. On The
Sociology of Islam, Trans”, Hamid Algar (Berkely, Mizan Press, 1979).
16. Red
shiism, Trans, Habib Shirazi (The shariati Foundation and Hamdami Publishers,
Tehran, 1979).
17.
Retlection of A Concerned Muslim on The Plight of Oppressed Peoples, Trans” , Ali Behzadnia and Najla
Denny.
18.
Selection and of Election, Trans, Ali Asghar Ghassemy (The Hosseniyeh Ershad
and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
19. The
Visage of Mohammed, ‘Trans, A. A. Sachadin (Nor. Oqalam Publications, Lahore,
1983).
20. Ye
Brother, That’s The Way it Was, Trans, Nader Assaf (Shariati Foundations and
Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
21. Awaiting
the Religion of Protest Translated by: Shahyar Saadat.
22. What is
to be done? Edited & Anotated by: Farhang Rajaee/ Forword by: John L.
Esposito.
23. Hajj,
trans, S.M.Farough, (Islamic faundation, India, 1989)
24. A
Message to the Enlightened Thinkers
25.
Extraction and Refinement of Cultural Resources
Karya-karya
Ali Syari’ati dalam bahasa Indonesia :
1. Politik
Intelektual Revolusioner
2.
Rausanfikr Sebagai Agen Revolusi Islam
3. Filosof
Etika dan Arsitek Iran Modern
4. Polaritas
Masyarakat
5. Tauhid
yang Humanis
6. Senarai
Singkat Teologi Pembebasan
C. Rausanfikr
Sebagai Agen Revolusi Islam
Ali
Syari’ati mempunyai pandangan yang berbeda dengan Imam Khomeini tentang konsep
kunci kepemimpinan. Jika Imam Khomeini menempatkan kaum ulama sebagai otoritas
tertinggi dalam bidang politik maupun agama, maka
Syari’ati menolak dominasi politik kaum ulama, dan sebaliknya menempatkan kaum
“intelektual yang tercerahkan” (rausanfikr), sebagai pemegang otoritas
kekuasaan politik.
Dalam
pandangan Imam Khomeini, selama ghaibnya Imam Mahdi kemepimpinan dalam
pemerintahan Islam menjadi hak para faqîh (fuqâhâ). Sekali
seorang faqîh berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan
para faqîh lain wajib mengikutinya, karena dia akan memiliki kekuasaan dan
otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki nabi dan para imam
terdahulu. Walau demikian, menurut Imam Khomeini, tidak semua faqîh
qualified sebagai pemimpin. Sekurang-kurangnya beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi seorang faqîh untuk bisa memimpin pemerintahan Islam.
Konsep Wilâyah
al-Faqîh memang didasarkan pada prinsip imâmah yang menjadi salah
satu keimanan Syi’ah Imâmiyah. Bisa juga dikatakan bahwa Wilâyah
al-Faqîh dimaksudkan untuk “mengisi kekosongan politik” selama masa
ghaibnya Imam kedua belas (Al-Mahdi). Pada masa keghaiban itu, Faqîh
– yang memenuhi syarat – berperan selaku wakil imam, guna membimbing umat,
baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial politik. Oleh sebab itu,
berdasarkan konsep Wilâyah al-Faqîh, keberadaan sebuah pemerintahan
Islam merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis.
Para ulama
Syi’ah menjunjung tinggi aspek asasiyah doktrin imâmah.
Karena imam itu maksum dan menafsir otoritas wahyu Islami, maka dia adalah satu-satunya
otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan pemerintah Islam. Namun, di
bawah pengaruh kuat keadaan historis, imâmah menjadi terbagi ke dalam
temporal dan spiritual. Otoritas temporal imam dipandang sebagai telah
“dijarah” oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki
oleh imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang
diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual para pengikutnya sebagai “imam
sejati”
Dengan
berfusinya nasionalisme Iran dan Islam Syi’ah, orang-orang Iran, termasuk para
ulama Syi’ahnya, tidak pernah merasakan adanya konflik antara Islam dan
nasionalisme Iran. Namun, sebagian ulama Syi’ah menolak
segala bentuk “kolaborasi” antara raja dan ulama, termasuk dalam arti raja
dalam posisi “superior” dan ulama “inferior”. Imam Khomeini termasuk berada
dalam deretan ulama yang menetang keras kekuasaan raja. Walaupun dalam Kasyf
al-Asyrâr, ia masih bisa menerima keberadaan lembaga monarki
konstitusional, namun dalam Hukûmah Islamiyah, Khomeini secara tegas
menolak sistem monarki. Baginya, hanya ada satu sitem kenegaraan yang sesuai
dengan Islam, yaitu pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang fâqih
atau dewan fuqahâ.
Berbeda
denagn Imam Khomeini, Ali Syari’ati tidak setuju dengan peranan yang terlalu
besar dari para mujtahîd (ulama). Bagi Syari’ati, mereka yang bukan
ulama bisa jadi dapat memahami ajaran Islam dengan lebih baik; berfikir dan
hidup dengan cara Islami yang lebih murni, dibanding ahli hukum atau filosof.
Syari’ati bahkan menyalahkan ulama dengan adanya keberhasilan yang diperoleh
oleh para imperialis, karena akibat “kekeras kepalaan para ulamalah yang
menggiring para pemuda Iran mencari perlindungan dalam kebudayaan Barat”. Tidak
mengherankan jika hanya sedikit karya Syari’ati yang sesuai dengan paham para
ulama. Sebaliknya tidak jarang Syari’ati dituduh oleh sementara ulama sebagai
“agen Sunni, Wahabiyah, dan bahkan Komunisme”.
Menurut
Syari’ati, kaum intelektual merupakan para eksponen real dari Islam yang
“rasional” dan “dinamis”, dan bahwa tugas utama mereka adalah untuk
memperkenalkan suatu “pencerahan” dan “revormasi” Islam.
Oleh sebab itu, betapa pentingnya kaum intelektual Muslim menghubungkan dirinya
dengan massa, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan Islam sebagai agama
jihad yang menentang penindasan dan menegakkan keadilan.
Syari’ati berkeyakinan bahwa pemeritahan kaum intelektual merupakan
satu-satunya pilihan yang bisa diterima dan diperlukan setelah revolusi. Dengan
kata lain, Syari’ati mendukung suatu pemerintahan – atau lebih dari itu,
kediktatoran – kaum intelektual.
Syari’ati
tegas-tegas menolak jika imâmah diartikan sebagai pemberian kekuasaan
yang bersar kepada kaum ulama. Baginya, kaum ulama tidak berhak memonopoli
kebenaran di bidang agama, karena para ulama sama sekali tidak bisa lepas
tangan dari terciptanya kemunduran di dunia Islam. Manurut Syari’ati, selama
ini kaum ulama telah menafsirkan ajaran-ajaran agama yang justru hanya menguntungkan
kalangan istana. Sebaliknya, mereka yang non-ulama, khususnya kaum intelektual
yang tercerahkan (rausanfikr), adalah yang paling berhak mengendalikan
kekuasaan selama masa ghaibnya Imam Mahdi.
H.E. Chelabi
adalah salah seorang yang sependapat dengan Syari’ati tentang ketidakberhakan
kelompok ulama secara otomatis menjadi pemimpin politik. Sebagaimana
digambarkannya:
Ayâtullah Shariatmandari repeatedly stated his
opposition to having popular soverighnity restricted. Arguing that “member of
clergy, whose role is a spiritual one, should not interface in affair of
state”, he would accept a political leadership role for the clergy only when
the state passed anti-Islamic legislation, or the event of a temporary power
vacuum. (Ayâtullah Shariatmandari berulang-kali menyatakan
oposisinya untuk mempunyai kedaulatan rakyat terbatas. Membantah bahwa “anggota
ulama, siapa yang berperan dalam bidang spiritual , mestinya tidak terlibat
dalam urusan negara”, ia akan menerima peran kepemimpinan politik untuk ulama
sekedar hanya ketika negara menerapkan perundang-undangan yang tidak Islami,
atau ketika terjadi kekosongan kekuasaan.)
Hal ini
mengakibatkan kekuasaan sulit dikontrol, dan partisipasi politik rakyat menjadi
sangat rendah. Padahal dalam sistem politik demokrasi, kontrol terhadap
kekuasaan dan partisipasi politik rakyat, merupakan dua unsur yang sangat
dominan. Pandangan ini umumnya dianut oleh tokoh-tokoh “nasionalis-liberal”
seperti Mehdi Bazargan, Abu al-Hasan, dan Bani Sadr.
Syari’ati
kembali menegaskan bahwa yang berhak menjadi pemimpin umat adalah intelektual
yang tercerahkan. Mereka adalah orang yang terpanggil untuk memperbaiki nasib
umat dari ketertindasan dan mengembalikah hak-hak rakyat agar mereka bisa
menikmati kehidupan berkeadilan tanpa tanpa harus merasa khawatir terjadi
kesewenang-wenangan atas mereka. Rausanfikr, merujuk kepada mereka yang
melakukan tugas mental (sebagai alawan tugas manual). Tidak semua intelektual
adalah tercerahkan, tetapi menurut Syari’ati, hanya sebagian darinya. Ia mencontohkan,
misalnya, Sattar Khan adalah orang yang tercerahkan tapi bukan seorang
intelektual yang bergelar, sementara Allamah Muhammad Qaznivi adalah seorang
intelektual tetapi tidak tercerahkan.
Secara
khusus Syari’ati mengidentifikasi kelompok orang-orang yang tercerahkan berasal
dari golongan orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition)
di masanya. Kesadaran semacam itu dengan sendirinya kan memberikan rasa
tanggungjawab sosial. Pada prinsipnya, kata Syari’ati, tanggungjawab dan peranan
orang-orang masa kini yang tercerahkan di dunia ini sama dengan tanggungjawab
dan pranan para nabi dan pendiri agama-agama besar – yaitu para pemimpin yang
mendorong terwujudnya perubahan-perubahan struktural yang mendasar di masa
lampau. Mereka itu, lanjut Syari’ati, tidak harus seseorang yang mewarisi dan
melanjutkan karya-karya Galileo, Copernicus, Socrates, Aristoteles, dan Ibn
Sina. Akan tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah kepekaan sosial dan
politik dalam melihat persoalan-persoalan masyarakat.
Di saat
masyarakat, dalam konteks ini adalah masyarakat Iran, sebagaimana juga
masyarakat lainnya di Dunia Ketiga, sedang mengalami keterpurukan identitas
nasional dan disparitas (kesenjangan) sosial ekonomi yang sangat lebar, ia
memerlukan dua bentuk revolusi yung saling berkaitan. Pertama, revolusi
nasional, yang bertujuan bukan hanya untuk mengakhiri seluruh bentuk dominasi
Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi kebudayaan dan identiras nasional
negara Dunia Ketiga bersangkutan. Kedua, revolusi sosial untuk
menghapuskan semua bentuk eksploitasi dan kemiskinan guna menciptakan
masyarakat yang adil, dinamis dan “tanpa kelas” (classes). Lantas siapa yang akan menjadi agen revolusi ini?
Ali
Syari’ati secara tegas menyatakan bahwa orang yang tercerahkan (rausanfikr)
itulah yang harus memulai langkah-langkah strategis revolusi nasional maupun
sosial:
Although not a prophet, an enlightened soul should
play the role of the prophet for his society. He should preach the call for
awareness, freedom and salvation to the deaf and unhearing ears of the people,
inflame the fire of a new faith in their hearts, and show them the social
direction in their stagnant society. This is not a job for the scientists,
because they have a clear-cut responsibility: understanding the status quo and
discovering and employing the forces of nature and of man for the betterment of
the material life of the people. Scientists, technicians, and artists provide
scientific assistance to their nations, or to the human race, in order to help
them to improve their lot and be better at what “they are.” Enlightened souls,
on the other hand, teach their society how to “change” and toward what
direction. They foster a mission of “becoming” and pave the way by providing an
answer to the question, “What should we become?” (Meskipun
bukan Nabi, pemikir yang tercerahkan harus memainkan peranan sebagai Nabi bagi
masyarakatnya. Dia harus menyerukan kesadaran, kebebasan dan keselamatan bagi
telinga rakyat yang tuli dan tersumbat, menggelorakan suatu keyakinan baru di
dalam hati mereka, dan menunjukkan kepada mereka arah sosial dalam masyarakat
mereka yang mandek. Ini bukanlah tugas para ilmuwan, sebab mereka mempunyai
tanggungjawab yang pasti: memahami status quo dan menemukan serta
memanfaatkan kekuatan-kekuatan alam dan daya manusia untuk memperbaiki
kehidupan material rakyat. Para ilmuwan, teknisi, dan seniman memberikan
bantuan ilmiah kepada bangsa mereka, atau kepada umat manusia, untuk
memperbaiki nasib mereka agar keadaanya emnjadi lebih baik. Orang-orang yang
tercerahkan, sebaliknya, mengajarkan kepada masyarakat mereka bagaimana caranya
“berubah” dan akan mengarah ke mana perubahan itu. Mereka menjalankan misi
“menjadi” dan merintis jalan dengan memberi jawaban kepada pertanyaan, “Akan menjadi
apa kita ini?”).
Orang-orang
yang tercerahkan (rausanfikr) itu, kata Syari’ati, mempunyai
tanggungjwab yang besar yaitu mencari sebab-sebab yang sesungguhnya dari
keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandegan
dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya. Lebih dari itu, lanjut Syari’ati, ia
harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai
alasan-alasan dasar bagi nasib sosiohistoris mereka yang tragis. Kemudian,
dengan berpijak pada sumber-sumber tanggungjawab, kebutuhan-kebutuhan dan
penderitaan masyarakatnya, ia harus menentukan pemecahan-pemecahan rasional
yang akan memungkinkan rakyatnya membebaskan diri mereka dari status quo.
Berdasarkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam
masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu,
orang yang tercerahkan, masih menurut Syari’ati, harus berusaha untuk menemukan
hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan
kelainan-kelainan, serta faktor internal dan eksternal.
Peran rausanfikr
dalam perubahan masyarakat dalam pemikiran Ali Syari’ati, sebangun dengan apa
yang pernah dibayangkan oleh Antonio Gramsci tentang intelektual organik.
Gramsci memetakan potensi intelektual menjadi dua kategori, yaitu itelektual
tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional berkutat pada
persoalan yang bersifat otonom dan digerakkan oleh proses produksi, sebaliknya
intelektual organik adalah mereka yang memiliki kemampuan sebagai organisator
politik yang menyadari identitas dari yang diwakili dan mewakili. Intelektual organik itu, menurut Gramsci, tidak harus
mereka yang fasih berbicara dan berpenampilan seorang intelektual, tetapi lebih
dari itu, yaitu mereka yang aktif berpartisipasi dalam kehidupan praktis,
sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap, namun juga unggul dalam
semangat matematis yang abstrak.
Bagi
Syari’ati, rausanfikr adalah kunci pemikirannya karena tidak ada harapan
untuk perubahan tanpa peran dari mereka. Mereka adalah agen perubahan sosial
yang nyata, karena pilihan jalan mereka adalah meninggalkan menara gading
intelektualisme dan turun untuk terlibat dalam problem-problem real masyarakat.
Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang sedang tidur panjang
menuju revolusi melawan penindas. Masyarakat dapat mencapai lompatan
kreatifitas yang tinggi menuju perubahan fundamental struktur sosial-politik
akibat peran katalis rausanfikr.
Dari seluruh
bangunan pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam dan revolusi di atas, sumbangan
terbesar Syari’ati sebenarnya bukan dalam kekuatannya sebagai seorang
teoritikus Islam di bidang ilmu-ilmu sosial, seperti Ibnu Khaldun dengan
Muqaddimahnya. Atau barangkali, seperti Erward Said yang dengan Orientalism-nya
telah membongkar dan meruntuhkan bangunan ilmu-ilmu sosial “Barat” yang selama
ini dibangun di atas power/knowledge dalam era kolonialisme. Sumbangan
dia yang paling monumental adalah tesisnya yang menyatakan bahwa “kesadaran
kolektif” yang menjadi basis kekuatan revolusioner tidak selalu berangkat dari
kesadaran kelas, tetapi juga bisa dari kesadaran agama. Agama dalam konteks ini
tentu saja bukan agama dalam pemahaman umum, tetapi agama yang telah mengalami
“ideologisasi” sehingga mampu memberi kekuatan revolusioner. Oleh karena itu,
tidak heran jika setelah revolusi Iran terjadi, maka kerangka teoritik yang
biasanya dijadikan konseptualisasi “social movement” menjadi berantakan,
karean sering meremehkan faktor budaya sebagai kekuatan “symbolic resistance”.
Dengan teori
politiknya yang menyatakan bahwa dunia ketiga, seperti Iran, membutuhkan
“double movement” atau gerakan ganda revolusi, yaitu pertama, revolusi
nasional yang bertujuan disamping untuk memperoleh kemerdekaan dari
imperialisme Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi warisan kebudayaan dan
identitas nasional (to vitalize the country’s culture, heritage, and
national identity). Kedua, revolusi sosial yang dimaksudkan untuk
mengahapus kesenjangan kelas, kemiskinan, dan segala bentuk eksploitasi. Dua
macam revolusi itu dapat dilaksanakan dengan baik jika para intelektual yang
tercerahkan (rausanfikr) dapat menjadi agen atau artikulator. Mereka –
para rausanfikr itu – dapat menjadi agen yang baik jika dalam kesadaran
jiwanya tertanam teologi Islam pembebasan.
Konsep
kepemimpinan menurut Imam Khomeini tertuang gagasannya tentang Wilayah
al-Faqih. Istilah Wilâyah al-Faqîh (Velayat-i Faqih atau Wilayat-i
Faqih atau Wilâyatul Faqîh) diterjemahkan dalam bahasa Inggris
menjadi “governance by the yurisprudent”, atau “guardiarship of the
juristconsult”, “ atau “mandate of the jurist” atau “the
purported authority of the yurisprudent”. Lihat Michael M.J. Fischer, Iran:
From Religious Dispute to Revolution (Cambridge: Harvard University Press,
1980), hlm. 153. Wilâyah al-Faqîh mengartikulasikan gagasan esensial
Imam Khomeini tentang negara dan juga tujuan yang ingin dicapainya. Wilâyah
al-Faqîh juga merupakan “blue print” bagi suatu reorganisasi
masyarakat, dan merupakan sebuah “handbook” bagi Revolusi Islam Iran.
Lihat A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik di
Indonesia: Sebuah Penelitian ( Bandung: Mizan, 2000), hlm. 61
Syarat-syarat
seorang faqih agar bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam antara lain: 1)
mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam; 2) harus adil, dalam arti
memiliki iman dan akhlaq yang tinggi; 3) dapat dipercaya dan berbudi luhur; 4)
jenius; 5) memiliki kemampuan administratif; 6) bebas dari segala pengaruh
asing; 7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas
teritorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar denagn nyawanya; dan hidup
sederhana. Lihat Khomeini, Islamic Government (Roma: European Islamic
Cultural Centre, 1983), hlm. 52-53
D. Ali
Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern
Salah satu
pernyataan Syari’ati adalah ”Manusia menjadi ideal dengan mencari serta
memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan”.
Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati menurut Shahrough Akhlavi adalah ”Agama
harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk
mengubah dunia”(h.119)
Manusia
sebagai khalifah digambarkan oleh Syari’ati sebagai manusia individu yang
dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan sebegai individu. Karenanya, manusia
adalah individu yang otonom, mempunyai kesadaran, mempunyai daya kreatifitas,
dan mempunyai kebebasan kehendak. Pemikiran Syari’ati ini dipengaruhi oleh Eksistensialisme
yang menekankan kebebasan dan otonomi individual.
Meski
menekankan tindakan etis perorangan, Syari’ati menyatakan bahwa setiap individu
mempunyai tanggungjawab untuk perubahan masyarakatnya. Sayri’ati percaya bahwa
revolusi digerakkan pertama-tama dengan menggerakkan masing-masing individu.
Gerakan individual itu akan mengarah pada gerakan massa. Hal ini terlihat
secara konkrit dalam ibadah haji. Syari’ati memberikan tafsiran haji pada
penekanan pentingnya kualitas individual, tapi pada akhirnya harus melebur
dengan gerakan massa. Sayri’ati memandang revolusi dapat digerakkan saat
individu mampu menjalankan kewajibannya masing-masing, yang kemudian melebur
dengan gerakan mass itu.
1. Syari’ati dan Eksistensialisme
Ciri-ciri
umum eksistensialisme barat sangat terasa dalam beberapa pandangan Syari’ati.
Pandangan Syari’ati secara khas membicarakan persoalan eksistensi yang berpusat
perhatian kepada manusia. Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya
secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan dan selalu berubah kurang atau
lebih dari keadaan sebelumnya. Manusia dipandang terbuka, realitas yang belum
selesai (h. 50). Jika Sartree membatasi manusia pada becoming sebagai proses
untuk membentuk esensinya, Syari’ati lebih jauh lagi, yaitu potensi manusia
menjadi lebih tinggi (h. 40). Inti pemikirannya bermula pada pandangan dunia
Tauhid, dengan Tuhan sebagai sentralnya. Sebagaimana pemikiran eksistensialis
lainnya, baginya manusia dapat dilihat sebagai being dan becoming. Untuk itu ia
menafsirkan kosa kata bahasa arab bashar sebagai being dan insan untuk becoming
(h.7).
Untuk
berakhlak dengan akhlak Tuhan, manusia harus senantiasa melakukan proses
evolusi (becoming) menuju Tuhan itu. Karena hanya dalam modus berada dalam
bentuk Insan sajalah manusia memperoleh kebebasan dan mendapat amanat menjadi
khalifah (wakil) Tuhan. Syari’ati menyatakan bahwa Insan mengandung nilai-nilai
etis, sementara basyar mengandung nilai-nilai hewani. Hanya dengan menjadi
insan sajalah manusia bisa memaksimalkan atribut ketuhanannya, yaitu
kesadaran-diri, kehendak bebas dan kreatifitas. Hanya manusia saja yang bisa
bertindak seperti Tuhan, tetapi manusia tidak bisa menjadi Tuhan (h. 110)
Syari’ati
menyatakan bahwa manusia harus menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia harus
menjadi insan, tidak sekedar basyar (mahluk fisiologis). Basyar adalah mahluk
yang sekedar ‘berada’ (being), sedangkan insan adalah mahluk yang ‘menjadi’
(becoming). Dalam konteks ini Syari’ati menafsirkan ayat “Inna lillahi
wainnailaihi rojiun” (dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya) menyatakan
bahwa perjalanan kembali kepada-Nya bukanlah berarti di dalam-Nya atau
pada-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah titik beku atau suatu arah yang pasti, yang
segala sesuatu menuju kepadanya.
Manusia yang
‘menjadi’ ini memiliki tiga sifat yang saling berkaitan dan dapat menyesuaikian
diri dengan sifat-sifat ketuhanan. Ketiga sifat itu adalah kesadaran-diri
(selft-awareness), kehendak bebas (free-will), dan kreativitas (creativiness).
(h.36).
2. Syari’ati dan Marxisme
Ada hubungan
cinta-benci antara Syari’ati dan Marxisme (h. 46). Ia menerima analisa Marx
tentang kesadaran pertentangan kelas antara kaum penindas dan tertindas,
misalnya antara kaum Habil dan kaum Qabil, tetapi terutama bukan antara buruh
melawan Kapitalis, tetapi antara dunia ketiga melawan Imperialisme Barat.
Sayri’ati juga banyak menggunakan paradigma, kerangka dan analisis Marxis untuk
menjelaskan perkembangan masyarakat. Ia berpendapat bahwa Marx hanyalah seorang
matrerialis tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada
hal-hal yang bersifat materi belaka. Namun Syari’ati menyanjung Marx yang jauh
lebih tidak “materialistik” ketimbang mereka yang mengklaim “idealis” atau
“beriman dan religius”. Prespektif lain, Syari’ati mengecam Marxisme yang
mengejawantah dalam partai Sosial dan Komunis.
Syari’ati
berusaha menyelesaikan kontradiksi pandangannya itu dengan membagi kehidupan
Marx dalam tiga fase. Pertama Marx muda sebagai filosof ateistik yang
mengembangkan materialisme dealektis. Kedua, Marx dewasa, seorang ilmuwan
sosial yang mengungkapkan bagaimana penguasa mengeksploitasi mereka yang
dikuasai. Ketiga Marx tua yang merupakan politisi. Dari tiga fase itu,
Syari’ati menerima banyak gagasan dari Marx fase kedua, dan menolak fase pertama
dan ketiga.
Syari’ati
juga secara terang-terangan mengkritik ulama konvensional yang disebutnya
sebagai “Borjuasi kecil” dan “Depotisme Spiritual”. Di satu pihak, penguasa
telah menindas keimanan atas nama Islam Syi’ah, tetapi dipihak lain para ulama tradisional
juga harus dikritik karena apatis terhadap kezaliman. Sebagian dari mereka
bersikap oportunistik, sebagian lagi bersifat pasif karena mengharapkan Imam
yang tersembunyi, Imam Mahdi (h. 22).
E. Polaritas
Masyarakat Menurut Ali Syari’ati dan Imam Khomeini
Peta politik
internasional, khususnya kawasan Timur Tengah, akhir tahun 70-an mengalami
pergeseran signifikan. Di tengah perang dingin antara kekuatan Amerika dengan
sekutunya, NATO, via-a-vis Uni Soviet dengan Pakta Warsawa, muncul fenomena
mengejutkan, yaitu tampilnya kekuatan tradisional Islam-Syi’ah Iran ke pentas
politik menggulingkan pemerintahan sekuler Muhammad Reza Pahlevi (Syah Iran).
Revolusi
Islam Iran (11 Februari 1979) menarik untuk dikaji. Setidaknya, ada tiga alasan
mengapa Revolusi Islam Iran itu layak untuk dicermati: Pertama, fenomena
Revolusi Islam Iran merupakan salah satu bentuk kontradiksi-paradoksal dari
proses modernisasi di negara dunia ketiga, terutama di Iran.
Kontradiksi-paradoksal dalam arti bahwa proses modernisasi yang memangkas peran
agama dalam fungsi sosial-politik, ternyata, di satu sisi menyebabkan peran
agama terpinggir, tetapi di sisi lain mengentalkan sentimen keagamaan para
pemeluknya. Keotentikan dan identitas kaum beragama yang terancam modernisme
mengkristal menjadi gerakan-gerakan sosial, politik, dan kultural yang tidak
sungkan-sungkan menggunakan simbol-simbol agama sebagai basis aktivitasnya.
Kedua,
pengaruh Revolusi Iran telah menerobos seluruh penjuru dunia Islam, mulai dari
Maroko sampai ke Indonesia, dari Bosnia di jantung Eropa sampai ke Afrika. Oleh
karena itu, dampak revolusi tersebut sangat berpotensi mengubah peta konstelasi
politik regional, khususnya kawasan Timur Tengah, maupun internasional.
Ketiga,
Theda Skocpol, dalam Social Revolutions in the Modern World, mengategorikan
Revolusi Islam Iran sebagai salah satu revolusi sosial terbesar di samping
Revolusi Prancis, Rusia dan Cina. Revolusi Islam Iran adalah akumulasi
kekecewaan dan ketidakpuasan seluruh komponen bangsa Iran, bukan hanya ketidakpuasan
kelompok elit mullah (religious scholars) dan intelektual.
Citra yang
tertangkap secara umum ketika kita menelaah Revolusi Islam Iran adalah citra
sebuah revolusi para mullah dengan instrumen ideologi religius murni. Citra
tersebut mengakibatkan pemerintahan Iran pasca Revolusi Februari 1979 kerap
dituding dengan istilah mullahocracy (kekuasaan kaum mullah). Namun, bila
disorot secara lebih tajam dan cermat, sesungguhnya, ada pula konstruk
ideologis semi-religius.
Secara
simplistik, ada dua gugus ideologi yang menjadi pilar Revolusi Islam Iran,
yaitu: ideologi religius tradisional Syi’ah yang diusung oleh para ulama atau
mullah, dan ideologi semi-religius yang tetap berbasis atas
peristilahan-peristilahan Syi’ah, tetapi dibawa oleh para intelektual berlatar
pendidikan sekuler. Dalam kategori pertama bisa disebut dua nama yang paling
populer, yaitu Ayatullah Ruhullah Musawi Khomeini dan Ayatullah Murtadha
Muthahhari. Pada kategori kedua yang paling menonjol adalah Ali Syari’ati,
Mehdi Bazargan, dan Bani Sadr. Meski punya misi-praktis yang sama, yaitu
menggulingkan rezim represif Syah Iran, kedua kelompok ideologis ini kadang
saling berhadap-hadapan.
1. Kutub Habil Versus Kutub Qabil
Inti
filsafat sosial Syari’ati adalah polarisasi masyarakat menjadi dua kutub
dialektis. Pandangan tentang polarisasi masyarakat merupakan wujud konsistensi
Syari’ati dalam mempertahankan kaca mata analisis dialektika. Secara lebih
spesifik, Syari’ati menyatakan, “Sosiologi pun berdasarkan dialektika.” Jadi,
dialektika sosiologi adalah refleksi atas masyarakat (sosiologi) yang
didasarkan pada konsep dialektika.
Masyarakat,
seperti telah dikemukakan di muka, memiliki super-struktur, yang di dalamnya
terdapat struktur dan mekanisme ekonomi (cara produksi, relasi produksi, alat-alat
dan barang). Struktur tidak ditentukan oleh mekanisme ekonomi. Struktur
bersifat mandiri (independent) terhadap semua kinerja dan mekanisme ekonomi.
Dalam masyarakat, terdapat dua struktur tetap, yang dalam konsep Syari’ati
disebut sebagai struktur Habil dan struktur Qabil, mengambil dua sosok anak
Adam. Sisi beda kedua struktur itu dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Kategori Perbedaan
|
Struktur Habil
|
Struktur Qabil
|
Posisi Individu
|
Individu menentukan nasibnya
sendiri (otonom)
|
Nasib individu ditentukan oleh
kelompok pemilik modal
|
Kepentingan yang diperjuangkan
|
Kepentingan masyarakat
|
Kepentingan pribadi atau pemiliki
modal (kapitalis)
|
Oleh karena
masyarakat memiliki dua struktur tersebut, maka masyarakat pun terbagi menjadi
dua kutub, yaitu kutub Qabil dan kutub Habil. Syari’ati memakai istilah “kutub
masyarakat” dalam pengertian “kelas sosial”. Jadi, kutub masyarakat sama dengan
kelas sosial, juga sebaliknya. Syari’ati, dalam On Sociology of Islam,
mengunakan kedua istilah ini secara bergantian.
2. Kutub Qabil : Kelas Penguasa
Kutub Qabil
adalah kutub penguasa atau raja, pemilik (owner), dan aristokrat. Kutub Qabil
merupakan pemilik kekuasaan. Ada tiga kekuasaan yang disebutkan oleh Syari’ati,
yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan religius. Kemudian,
manifestasi ketiga kekuasaan kutub Qabil tersebut dalam pentas sejarah sosial
mengambil bentuk yang berbeda-beda, tergantung tingkat perkembangan
masyarakatnya.
Pada
tahap-tahap perkembangan sosial yang masih primitif dan terbelakang, kutub ini
memanifestasikan diri dalam bentuk pemusatan kekuasaan pada seorang individu.
Individu tersebut menyerap ketiga kekuasaan (raja, pemilik dan aristokrat) pada
dirinya. Ia mewakili muka Qabil. Sementara itu, dalam tahap evolusi sosial yang
lebih maju, ketiga kekuasaan tersebut dipisahkan, yaitu kekuasaan politik,
kekuasaan ekonomi dan kekuasaan religius.
Al-Quran,
sebagai salah satu dasar epistemologis filsafat sosial Syari’ati, menyinggung
ketiga wajah kekuasaan tersebut dengan memperkenalkan simbol-simbol khas untuk
ketiga manifestasi Qabil tersebut. Ada tiga istilah yang melukiskan sifat tiga
wajah kekuasaan tersebut, yaitu mala’ (yang serakah dan kejam), mutraf (yang
rakus dan bermewah-mewahan), dan rahib (kependetaan). Personifikasi ketiga
sifat tersebut disimbolkan dengan nama-nama tokoh. Kekuasaan politik
disimbolkan dengan tokoh Fir’aun, kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh
Qarun (Croesus), dan kekuasaan religius dilambangkan oleh tokoh Balaam Bauri.
Ketiganya merupakan manifestasi tritunggal dari Qabil. Syari’ati menjelaskan
ketiga manifestasi Qabil secara panjang lebar dalam Haji.
Di sepanjang
sejarah, anak-cucu Qabil telah berperan sebagai pemimpin umat manusia. Begitu
masyarakat-masyarakat manusia bertambah besar, berubah dan sistem-sistemnya
menjadi lebih rumit; dan begitu timbul pembagian-pembagian,
spesialisasi-spesialisasi, dan klasifikasi-klasifikasi, Qabil, sang pemimpin,
mengubah wajahnya! Sementara mempertahankan kekuatan-kekuatannya di tiga buah
basis, di dalam masyarakat-masyarakat modern Qabil menyembunyikan wajah aslinya
di balik topeng politik, ekonomi dan agama. Qabil menciptakan tiga buah
kekuatan untuk menindas: kekayaan dan kemunafikan yang melahirkan despostisme;
eksploitasi; dan teknik-teknik indoktrinasi. Ketika kekuatan ini dapat
dijelaskan dengan istilah-istilah monoteisme (tauhid). Fir’aun: lambang
penindas; Qarun (Kroesus): lambang kapital dan kapitalisme; Balaam: lambang
kemunafikan (religius).
Dalam
realitas konkret, Fir’aun diwujudkan oleh orang-orang yang berkepentingan
dengan politik, dan hidup di bawah despotisme, militerisme dan fasisme. Qarun
diwujudkan oleh orang-orang yang berkubang dalam ekonomi pasar. Mereka
memandang ekonomi sebagai dewa penentu nasib masyarakat. Sedangkan Balaam
diwujudkan oleh kaum intelektual yang yakin bahwa perubahan sosial tidak
mungkin tercipta tanpa melawan kebodohan, kelemahan, dan kondisi yang
menyebabkan manusia menganut politeisme yang berselimutkan monoteisme.
Ketiga poros
kekuasaan tersebut saling menunjang. Fir’aun merestui perampokan sistematis dan
prosedural yang dilakukan Qarun. Lalu, Qarun pun mendukung kerja intelektual
Balaam dengan sarana finansial kekayaannya. Fir’aun menyokong Balaam dengan
jaminan politisnya. Sedangkan Balaam menyediakan basis doktrin untuk
melegitimasikan rezim Fir’aun, bahwa keberadaan Fir’aun kekuasaan Tuhan. Ketiga
komponen penopang kekuasaan Qabil itu disebut trinitarianisme-sosial.
3. Kutub Habil: Kelas yang Dikuasai
Berseberangan
dengan kutub Qabil, kutub Habil adalah representasi kelas yang dikuasai, yang
ditindas. Kutub Qabil merupakan penjelmaan kelas rakyat (al-nas). Syari’ati
menggambarkan ketertindasan kutub Habil ini secara dramatik dalam beberapa
karyanya, seperti Yea, Brother! That’s the Way It Was.
Dalam buku
itu Syari’ati menceritakan tentang kekagumannya pada monumen-monumen besar,
seperti Piramida di Mesir. Namun, kekaguman tersebut mendadak sirna ketika ia
menyadari bahwa monumen-monumen itu dibangun di atas penderitaan para budak
yang dengan tenaga, keringat, bahkan nyawanya terpaksa mengikuti keinginan
penguasa untuk menciptakan simbol budaya tersebut. “Aku benci dan marah!
Kulihat peradaban sebagai suatu kutukan. Ia dihasilkan dari ribuan tahun
penindasan dan perbudakan,” tulis Syari’ati. Para budak adalah wujud nyata
kelas Habil, penghuni kutub Habil.
Selanjutnya,
yang menarik dari pandangan Syari’ati adalah bahwa Allah Swt —dalam konfrontasi
kedua kutub masyarakat itu— memihak pada kutub rakyat (Habil). Bahkan,
Syari’ati berpendapat bahwa Allah Swt, dalam al-Quran menjadi sinonim dengan
al-nas. Menurutnya, kedua ungkapan tersebut kerap saling menggantikan dan
semakna. Umpamanya, Syari’ati memberi contoh QS. Al-Taghabun ayat 17 yang
berbunyi, “Jika kalian meminjamkan pinjaman yang baik kepada Allah”. Syari’ati
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Allah adalah al-nas, manusia atau
rakyat, karena Allah sama sekali tak membutuhkan pinjaman dari kita.
Masalah
sinonimasi Allah dan al-nas perlu diklarifikasi karena bisa mengundang
kesalahpahaman. Syari’ati menyamakan kata al-nas dengan Allah dalam wacana
sosial, bukan wacana akidah seperti tata kosmos. Jelas, Syari’ati membedakan
ranah (domain) diskursus. Dalam ranah teologis, Allah berbeda dengan al-nas.
Namun, pada ranah sosiologis, istilah Allah dan al-nas adalah sinonim.
Lebih jauh
Syari’ati memaparkan bahwa sinonimasi kata Allah dan al-nas tersebut bermakna:
bila disebutkan “kekuasaan berada di tangan Allah”, maka berarti kekuasaan
berada di tangan rakyat bukan di tangan mereka yang mengaku dirinya sebagai
wakil atau anak Tuhan, atau kerabat Tuhan atau sebagai Tuhan itu sendiri. Bila
dikatakan bahwa, “hak milik adalah kepunyaan Allah”, maka bermakna bahwa
kapital adalah kepunyaan rakyat, bukan milik Qarun. Selanjutnya, bila
dituturkan, “agama adalah kepunyaan Allah”, maka itu bermaksud bahwa
keseluruhan struktur dan isi agama diperuntukkan bagi rakyat banyak, bukan demi
kelompok, lembaga tertentu yang memonopoli otoritas keagamaaan, seperti pendeta
(clergy) atau gereja (church).
Jadi, konsep
utama tentang kutub Habil adalah konsep al-nas. Kata al-nas memiliki makna yang
dalam dan khas. Kekhasan tersebut diungkap Syari’ati. Menurut Syari’ati, rakyat
merupakan wakil-wakil Allah (the representatives of God) sekaligus keluarga-Nya
(al-nas iyalu ‘Llah). Syari’ati menandaskan pula dengan adanya fakta bahwa
al-Quran dibuka dengan nama Allah dan diakhiri dengan nama rakyat (al-nas).
Lalu, Ka’bah, kiblat umat Muslim saat shalat, adalah rumah Allah (house of
God), tapi juga sekaligus disebut sebagai rumah rakyat (house of people) dan
rumah kebebasan (free house atau al-bayt al-’atiq).
Kata al-nas,
meskipun berbentuk tunggal, namun bermakna jamak. Kata al-nas tidak berarti
kumpulan perorangan, namun dalam pengertian masyarakat atau, lebih tepat,
massa. Oleh karena itu, kata al-nas, bagi Syari’ati, memiliki konotasi unik
yang mewakili konsep rakyat.
4. Mustadafin versus Mustakbirin
Pandangan
Syari’ati di atas bertitik temu dengan pemikiran Imam Khomeini. Imam Khomeini
membagi masyarakat secara dikotomis, terutama pada periode 1970-1982. Salah
satu buku yang memadai untuk mengungkap pandangan Imam Khomeini tentang
masyarakat tersebut adalah Khomeinism: Essays on the Islamic Republic (1993),
karya Ervand Abrahamian. Dalam buku tersebut, Abrahamian membagi tiga tahap
pemikiran Imam Khomeini yang terkait dengan pandangannya tentang masyarakat.
a) Tahap I (1943-1970): Gradasi yang Harmonis
Menurut
Abrahamian, pada tahap ini Imam Khomeini memandang masyarakat sebagai sebuah
hirarki yang di dalamnya terdapat lapisan dan kelompok masyarakat (qeshra),
seperti ulama, santri, pegawai kantor, pedagang, buruh dan lainnya.
Masing-masing kelompok tersebut saling bergantung satu dengan lainnya untuk
mempertahankan diri, memiliki dan menjalankan fungsinya, serta menghormati
hak-hak kelompok lainnya. Skema Imam Khomeini ini, mengikuti istilah Stanislaw
Ossowski, berupa gradasi yang harmonis. Karena itu, tugas utama pemerintah
adalah melindungi Islam dan memelihara keseimbangan antara strata sosial
tersebut.
Bagi Imam
Khomeini, strata tertinggi (qeshr-e bala) dalam masyarakat adalah ulama. Ulama
bertanggung jawab untuk berteriak lantang, mengkritik pemerintah yang tidak
melakukan tugas utamanya. Jadi, secara singkat, pada periode ini Imam Khomeini
menggunakan metafora Aristotelian tentang tubuh manusia (human body) untuk
menjelaskan masyarakat. Strata sosial yang beragam tersebut adalah bagian dari
sebuah keseluruhan organik.
b) Tahap Kedua (1970-1982): Dikotomi Antagonistik
Pada tahap
ini, Imam Khomeini mulai menggunakan konsep dan bahasa yang radikal, seperti
digunakan Syari’ati. Imam Khomeini memandang masyarakat dibangun dari dua kelas
antagonistik (tabaqat): penindas (mustadafin) dan yang ditindas (mustakbirin).
Pada periode sebelumnya Imam Khomeini menggunakan istilah mustadafin dalam
pengertian Quranik, yakni “yang lembut/penurut”, “rakyat biasa”, dan “yang
dilemahkan”. Namun, pada periode ini, Imam Khomeini menggunakan istilah mustadafin
dengan makna massa tertindas yang marah, sebuah pengertian yang didapat ketika
pada awal 1960-an Syari’ati dan murid-muridnya menerjemahkan The Wretched of
the Earth-nya Franz Fanon sebagai Mustadafin-e Zamin. Terminologi
mustakbirin identik dengan kelas atas (tabaqeh-e bala) yang melingkupi dengan
penindas, pengekspoitir, feodalis, kapitalis, para penghuni istana, koruptor,
penikmat kemewahan, dan elit yang bermegah-megahan. Sedangkan mustadafin
disebut juga sebagai kelas bawah (tabaqeh-e payin), yang tercakup di sana:
orang-orang yang tertindas, yang diekploitir, kaum yang lemah, yang lapar,
miskin, pengangguran, yang tak berpendidikan, tuna karya, dan tuna wisma.
Menurut Imam
Khomeini, para penindas selalu memiliki kecenderungan pada ketidakadilan,
setani dan membangun pemerintahan yang tiranik. Mereka melangggar dan melawan
ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw, dan dalam konteks Iran, mendukung monarki
Pahlevi dan emperialisme Amerika. Sedangkan kaum tertindas sebaliknya. Mereka
berjuang untuk keadilan, pemerintahan Islam, mengikuti jejak langkah Nabi, dan
bersedia mati demi revolusi Islam. Yang memimpin dan membebaskan kaum tertindas
adalah ulama. Pandangan dikotomis masyarakat Imam Khomeini ini, meminjam
terminonologi Ossowski, disebut dengan dikotomi antagonistik.
c) Tahap Ketiga (1982-1989): Trikotomi Semiharmonis
Tahap ini
adalah tahap pasca revolusi. Karena itu, pandangan Imam Khomeini tentang
polaritas masyarakat pun bergeser. Pada tahap ini, menurut Abrahamian, Imam
Khomeini tidak memakai dikotomi antagonistiknya, namun trikotomi. Masyarakat
terdiri dari tiga kelas: kelas atas (tabaqeh-e bala), kelas menengah (tabaqeh-e
motavasset), dan kelas bawah (tabaqeh-e payin). Kelas atas dihuni oleh
orang-orang yang secara ekonomi sejahtera dan mapan. Kelas menengah melingkupi
ulama, intelektual, dan pedagang. Kelas bawah mencakup buruh, dan orang-orang
yang secara ekonomi masih terjerat kemiskinan. Dalam konteks pembagian kelas
ini, Imam Khomeini menekankan trikotomi semiharmonis di mana kelas menengah
memiliki peran yang penting.
Menurut Imam
Khomeini, kelas menengah, terutama kaum bazaris, berperan besar pada masa
pra-revolusi, selama revolusi, dan pasca revolusi. Kaum bazaris berperan dalam
mengkritik penguasa tiranik Pahlevi, bahkan menyumbangkan para martirnya. Dan
bazaris selalu bersanding dengan kelas bawah. Hal ini dikarenakan kelas
menengah memiliki kepentingan yang sama dengan kelas bawah, yakni melawan
imperialisme dan kelas atas lama. Karena itu, dapat dipahami mengapa
pemimpin-pemimpin pemerintahan yang baru banyak berasal dari kelas menenggah
ini. Singkatnya, pada tahap ketiga ini, Imam Khomeini membagi kelas dalam
masyarakat yang dapat distilahkan dengan trikotomi semiharmonis.
5. Keberpihakan pada Mustadafin
Dari paparan
di atas, tampak bahwa Syari’ati dan Imam Khomeini memiliki kesamaan yakni
penekanan pada emansipasi mustadafin. Perjuangan pembebasan mustadafin sebagai
isu dan agenda penting dalam karya-karya mereka.
Deskripsi-deskripsi
Syari’ati, dalam dialektika sosiologi, telah mengkutubkan kemanusiaan menjadi
dua kutub, yakni kutub Habil dan kutub Qabil. Secara implisit dan eksplisit,
Syari’ati menilai kedua kutub tersebut sebagai kutub positif dan kutub negatif.
Kutub positif kemanusiaan selalu berada dalam keadaan tertindas, terjajah dan
tak diuntungkan. Oleh karena itu, bagi Syari’ati, kutub ini perlu dibela serta
diperjuangkan hak-haknya. Demikian pula dengan identifikasi Imam Khomeini
dengan dikotomi antagonistik dan trikotomi semiharmonisnya.
Sesungguhnya,
perjuangan pembebasan mustadafin tidak murni dari Syari’ati dan Imam Khomeini.
Sejarah Syi’ah sendiri merupakan sejarah perlawanan kelompok yang
termarjinalkan secara politis di Dunia Islam. Doktrin Syi’ah, konsep keadilan
(’adalah) misalnya, memberikan ruang lebih untuk lahirnya semangat pembebasan
mustadafin. Bahkan, tendensi keberpihakan khas Syi’ah ini semakin mengental
pada pasca Revolusi Islam Iran. Robin Wright mencatat pernyataan Khomeini
sebulan setelah revolusi pecah bahwa, “it is a champion of all oppressed
people.” Demikian pula dengan pemerintahan Iran pasca Revolusi. Pemerintahan Iran
pasca revolusi memberikan simpati dan solidaritas pada perjuangan pembebasan di
dunia ketiga tak terkecuali terhadap gerakan revolusioner non-Muslim seperti
gerakan Kongres Nasional Afrika di Afrika Selatan atau gerakan Sandinista di
Nikaragua.
F. Tauhid
Yang Humanist
Opini- Untuk menjadikan Islam
sebagai ideologi yang mampu dipraksiskan dalam kehidupan dan memberi implikasi
yang positif bagi manusia. Ali Syari’ati menyajikan secara detail
tahapan-tahapan ideologi. Pada tahap pertama, Ali Syari’ati berangkat dari satu
pertanyaan mendasar mengenai kedudukan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan
dan alam semesta.Untuk menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu Syari’ati
meletakkan pandangan dunia Tauhid sebagai pandangan dunia yang mendasar.
Menurut Syari’ati, pandangan dunia
Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa kehidupan adalah suatu bentuk yang
tunggal. Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia
yang membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomistik-binerian;
materi-non materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk, alam fisik-alam gaib, serta
individu-masyarakat. Dengan kata lain pandangan dunia Tauhid adalah pandangan
dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik, universal,
integral dan monistik.
Semua makhluk dan objek di alam
semesta yang merupakan refleksi atas kebesaran Tuhan. Pandangan dunia Tauhid
merupakan pandangan dunia yang integral. Pandangan dunia Tauhid memberikan
“kelonggaran” bagi manusia untuk mengembangkan kebebasannya, sehiingga manusia
bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukannya. Pandangan dunia
Tauhid juga memandang bahwa manusia sebagai insan yang memiliki kemerdekaan dan
martabat yang sangat tinggi.
Berbeda dengan pandangan kaum
eksistensialisme ateistik, seperti Jean Paul Sartre yang menyatakan dengan
tegas bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Sartre,
menafikan Tuhan dalam kaitannya dengan kebebasan manusia dalam eksistensinya.
Meenurut Sartre, ada tidaknya Tuhan tidak akan mengubah penghayatan manusia
tentang dirinya sebagai eksistensi. Penafian Tuhan dalam gerak “mengada”
manusia juga dilontarkan oleh filosof materialis Jerman, Ludwig Van Feurbach,
yang menyatakan bahwa Tuhan tak lebih hanyalah proyeksi akal pikiran manusia
semata. Realitas tuhan yang sejati tak lain hanyalah diri manusia itu sendiri
yang dilemparkan oleh manusia menjadi satu sosok di luar dirinya dan berkuasa
atas dirinya. Kedua filosof tersebut menganggap manusia benar-benar menjadi
sentrum eksistensi dari alam semesta ini. Pendapat kedua tokoh tersebut,
termasuk juga para pemikir materialisme ateistik yang lain, dapat digambarkan
secara puitis, sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Zuhri, “Ketahuilah, bahwa
bermilyar tahun alam semesta tidak sadar akan dirinya, dan ketika ia sadar akan
dirinya, manusialah wujudnya.”
Dalam pandangan dunia Tauhid, Tuhan
adalah tujuan yang kepadaNyalah seluruh eksistensi dan makhluk bergerak secara
simultan, dan Dia jualah yang menentukan tujuan dari alam semesta ini.
Penyembahan terhadap kekuatan Absolut (Allah Yang Esa) yang merupakan seruan
terbesar dari ajaran Ibrahim as, terdiri atas seruan kepada semua manusia untuk
menyembah Penguasa tunggal di jagad raya ini. Penyembahan tersebut dimaksudkan
untuk mengarahkan perhatian manusia kepada satu tujuan penciptaan dan untuk
mempercayai satu kekuatan yang paling efektif dari seluruh eksistensi dan
sebagai tempat berlindung dan bergantung manusia sepanjang hayat dan sejarah.
Sebagaimana dikatakan oleh seorang
sufi besar, Farid al-Din al-Athar, “bila kau ingin sempurna, carilah
kesemestaan, pilihlah kesemestaan, dan jadilah kesemestaan.” Dalam pandangan
dunia Tauhid, hakekat kesejatian manusia adalah potensi Ruh Allah yang telah
ditupkan dalam diri manusia. Ruh Allah tersebut adalah “kesemestaan”
sebagaimaana yang dimaksud oleh al-Athar. Ruh Allah adalah realitas paling
sublim dan ultim dalam diri manusia yang menjadi modus bagi eksistensi manusia
dalam kehidupannya.
Tauhid sebagai modus eksistensi
manusia, digambarkan oleh Syari’ati dalam pembahasannya yang sangat romantik,
reflektif, dan revolusioner tentang ibadah haji. Beliau mengatakan, ibadah haji
menggambarkan “kepulangan” manusia kepada Allah yang Mutlak dan Tidak Terbatas,
serta tidak ada yang menyerupaiNya. Perjalanan “pulang” kembali kepada Allah
menunjukkan suatu gerakan yang pasti menuju kesempurnaan, kebaikan, kebenaran,
keindahan, pengetahuan, kekuatan, nilai-nilai, dan fakta-fakta.
Tauhid sebagai modus eksistensi
bermakna, bahwa Allah adalah tempat asal dan tempat kembali manusia. dariNyalah
seluruh atribut Ilahiyah yang dimiliki oleh manusia berasal. Berbeda dengan
filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre, yang menganggap Tuhan sebagai sosok
yang menghalangi kebebasan manusia. Ali Syari’ati memandang, bahwa Tuhan adalah
sosok pembebas bagi manusia, dengan melakukan upaya pendekatan diri kepadaNya,
maka manusia akan terbebas dari nilai-nilai lumpur busuk yang kotor dan
melambangkan keadaan manusia yang dehumanis menuju Ruh Allah yang suci sebagai
sumber seluruh nilai-nilai humanisme yang universal.
Comments
Post a Comment