- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Oleh Arip Musthopa
Ketua PB HmI
Sejarah HMI bukanlah sejarah
HMI semata. Sejarah HMI adalah sejarah pergumulan umat dan bangsa di bumi
nusantara. Tepatnya, sejarah pergumulan kaum intelegensia muda Islam-Indonesia
dalam interaksinya dengan umat dan bangsa di bumi nusantara. Dengan pemaknaan
demikian, maka makna kehadiran HMI tidak bisa dilihat hanya sejak tahun 1940-an
ketika Lafran Pane dkk, menjadi mahasiswa dan berinisiatif mendirikan HMI
hingga saat ini, melainkan harus ditarik jauh hingga ke masa pemberlakuan
politik etis Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 masehi;
dan bahkan ditarik hingga abad ke-13 masehi ketika pertama kali Islam masuk di
bumi nusantara.
Penarikan sejarah yang jauh
ke belakang ini untuk menggapai makna yang lebih utuh karena makna kelahiran
dan keberadaan HMI merupakan bagian integral dari semangat Islam masuk ke bumi
nusantara dan semangat perjuangan kaum intelegensia muslim sebagai ‘blok
historis’ yang menginisiasi kelahiran Negara Republik Indonesia pada awal abad
ke-20.
HMI merupakan produk sejarah
yang tak terhindarkan dari dua peristiwa penting sejarah (umat) Islam di bumi
nusantara, yakni sejarah permulaan Islam masuk di bumi nusantara dan sejarah
kebangkitan muslim nusantara (yang dipimpin kaum intelegensia) untuk
membebaskan bumi nusantara dari penjajah kolonial Belanda.
Pemaknaan yang seperti ini
bukanlah sesuatu yang mengada-ada karena semangat Islam masuk ke bumi nusantara
yakni syiar Islam, dan semangat kaum intelegensia muslim awal abad ke-20 untuk
memerdekakan Indonesia tercermin dalam dua tujuan awal berdirinya HMI pada 5
Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H, yaitu (1) mempertahankan
Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dan (2)
menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.[1]
Petunjuk tertua tentang
permulaan Islam dipeluk oleh penduduk bumi nusantara ditemukan di bagian utara
Sumatera, tepatnya di Pemakaman Lamreh. Disana ditemukan nisan Sultan Sulaiman
bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M.[2] Masuknya Islam ke
bumi nusantara memiliki makna yang sangat penting bagi penduduk bumi nusantara.
Karena pada periode itu Islam sedang mengalami puncak kejayaan sebagai suatu
peradaban dan bahkan pemimpin peradaban global.
Pada masa-masa itu (abad
ke-5 s.d. 7 H), hidup pemikir-pemikir besar dunia (Islam), seperti Ibn Sina
(wafat 428 H/1037 M), Al Ghazali (wafat 505 H/1111 M), Ibn Rusyd (wafat 594
H/1198 M), dan Ibn Taymiyyah (wafat 728 H/1328 M).[3] Dengan demikian, Islam
yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mapan sebagai suatu ajaran
agama dan peradaban[4] sehingga merupakan hal yang sudah sepatutnya apabila
M.C. Ricklefs, profesor kehormatan di Monash University Australia menulis buku
A History of Modern Indonesia Since c. 1200[5] untuk menggambarkan sejarah
Indonesia modern yang dimulai dari sejak pertama kali Islam dipeluk penduduk
bumi nusantara.
Kata ‘modern’ yang
disematkan kepada bumi nusantara yang kemudian dikenal dengan ‘Indonesia’ sejak
tahun 1200-an tersebut menunjukkan bahwa peradaban di bumi nusantara ketika itu
belum modern karena berada di bawah kekuasaan feodalisme Hindu-Budha dan Islam
hadir dengan membawa kemodernan. Dengan kata lain, Islam membawa misi
memodernkan penduduk di bumi nusantara (Indonesia).
Misi Islam untuk memodernkan
penduduk bumi nusantara tidaklah berlangsung dengan mudah dan lancar karena
pada saat yang bersamaan dengan mulai masuknya Islam ke bumi nusantara,
hinduisme dan budhisme mulai menemukan puncak kejayaannya di bumi nusantara
dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1294 M) dan berkembang menjadi kerajaan
terbesar di Asia Tenggara hingga runtuh pada 1478 M.
Proses Islamisasi yang
berjalan secara damai di bumi nusantara, terutama di daerah Utara Sumatera
berhasil menunjukkan eksistensinya dengan tampilnya kerajaan Islam di Aceh.
Sebelum kira-kira tahun 1500, Aceh belumlah begitu menonjol. Sultan pertama
kerajaan yang sedang tumbuh ini adalah Ali Mughayat Syah (m.1514-30). Selama
masa pemerintahannya, sebagian besar komunitas dagang Asia yang bubar karena
direbutnya Malaka oleh Portugis menetap di Aceh.[6] Aceh kemudian tumbuh
menjadi salahsatu kerajaan terkuat di kawasan Malaya-Nusantara.
Islam yang sedang tumbuh dan
mulai membangun peradabannya di bumi nusantara pasca keruntuhan Majapahit
sempat terinterupsi selama 3,5 abad (1596-1942 M) ketika bumi nusantara dijajah
oleh VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa itu, penduduk bumi
nusantara yang mayoritasnya telah muslim kehilangan kekuasaan baik secara
ekonomi maupun politik sehingga tidak dapat dengan leluasa menjalankan misinya,
yakni memodernkan penduduk bumi nusantara.
Kondisi ini dipersulit
dengan kemunduran peradaban dunia Islam pada umumnya sejak abad ke-15 M.[7]
Pada masa itu, muslim di bumi nusantara dengan kerajaan-kerajaannya seperti
Aceh, Demak (didirikan pada perempat terakhir abad ke-15 M), Cirebon (berdiri
akhir abad ke-15 M), Banten (berdiri abad ke-16 M), Pajang dan Mataram (berdiri
pertengahan kedua abad ke-16 M), Gowa (raja Gowa memeluk Islam tahun 1605, awal
abad ke-17), Ternate, Tidore dan sejumlah kerajaan lain yang lebih kecil; serta
dengan dinamika internal yang rumit[8] di bawah kepemimpinan sultan dan ulama
serta kaum intelegensia sejak abad ke-20 M, selama ratusan tahun berusaha
mengusir VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda, merebut dominasi ekonomi dan
politik di bumi nusantara dari tangan mereka.[9]
Ikhtiar untuk merebut
kembali kekuasaan ekonomi dan politik baru dapat dilakukan secara signifikan
pada awal abad ke-20 ketika mulai muncul kaum intelegensia muslim sebagai
produk pendidikan pemerintah kolonial Belanda yang dikenal dengan politik etis
pada akhir abad ke-19 M. Perlu diketahui bahwa penduduk pribumi (bumiputera)
ketika itu merupakan kelas sosial ketiga setelah orang Eropa dan keturunan Asia
(China, India, dan Arab). Akses mereka terhadap ekonomi dan birokrasi
pemerintahan sangat terbatas dan sumber daya manusia mereka tidak pernah
diberdayakan karena pemerintah kolonial Belanda tidak pernah membuka akses
pendidikan bagi penduduk pribumi hingga diberlakukannya politik etis
tersebut.[10]
Ikhtiar merebut kekuasaan
ekonomi dan politik tersebut memunculkan gerakan nasionalisme Indonesia yang
menginginkan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Peranan Islam dalam kelahiran
nasionalisme ini sangat penting karena Islam merupakan media persemaian
nasionalisme Indonesia itu sendiri sejak awal hingga ke depannya. George Mc.
Turnan Kahin dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia melukiskan
faktor-faktor atau kondisi awal abad ke-20 yang berperan melahirkan
nasionalisme Indonesia sebagai berikut. Pertama, munculnya gerakan Pan-Islam
(terinspirasi oleh Mohammad Abduh, Kairo) yang dibawa mahasiswa yang pulang
belajar. Kahin menulis: Agama Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu
kebangsaan secara pasif. Agama ini menjadi pengadaan saluran dini dari
perkembangan nasionalisme yang matang, nasionalisme modern, suatu saluran yang
sampai sekarang masih sangat penting.[11]
Kedua, lahirnya pemimpin
atau elit terpelajar pribumi yang justru dilahirkan oleh pendidikan barat yang
digerakkan Pemerintah Belanda sendiri. Kahin menyimpulkan: Perhatian Belanda
yang terlalu besar terhadap bahaya-bahaya Pan-Islam menyebabkan mereka tidak
terlalu mengacuhkan bahaya-bahaya yang terkandung dalam pergerakan Modernis
terhadap rezim mereka. Sementara itu, senjata yang mereka pilih untuk memerangi
Pan-Islam, yaitu pendidikan Barat, segera tumbuh menjadi mata pisau kedua yang
memotong ke arah lain. Ini benar-benar merupakan suatu ironi bagi pemerintahan
Belanda, karena cara-cara yang dipilih untuk membela rezim kolonial dari
ancaman Pan-Islam yang dibesar-besarkan, justru berkembang ke dalam salah satu
kekuatan yang paling potensial untuk mengalahkan rezim tersebut.[12]
Ketiga, kaum terpelajar,
dengan mata pisau analisa yang mereka peroleh selama pendidikan di Belanda
sendiri mulai merasakan adanya ketidakberesan kondisi negaranya. Mereka juga
dapat membandingkan kondisi di negeri Belanda sendiri dengan kondisi di tanah
air. Mereka juga merasakan diskriminasi dalam pekerjaan di Pemerintah Hindia
Belanda dan mulai tumbuh perasaan tidak menerima perlakukan tersebut.
Akibatnya, mereka menuntut diperlakukan setara karena mereka pun merasa kaum
terpelajar yang sederajat dengan pegawai-pegawai Belanda. Mereka tidak menerima
bila gaji mereka dibayar lebih murah dari pegawai Belanda dalam pemerintahan
Hindia belanda. Selain itu, Pengalaman bekerja di pemerintahan Hindia Belanda
juga menumbuhkan keyakinan bahwa elit pribumi tersebut merasa yakin dan mampu
memerintah bangsanya sendiri.
Tiga kondisi utama di intern
(elit) masyarakat Hindia Belanda di awal abad ke-20 inilah yang mengkristalkan
kelahiran atau asal mula kesadaran nasionalisme Indonesia, disamping
perkembangan di Negeri Belanda dan dunia internasional. Kesadaran ini
diperjuangkan melalui organisasi-organisasi pergerakan nasional yang kemudian
banyak bermunculan.[13] Senada dengan Kahin, Yudi Latif dalam Genealogi
Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa lahirnya Republik
Indonesia tidak terlepas dari terbentuknya suatu ’blok historis’ yang
disebutnya kaum intelegensia muslim.
Kaum intelegensia muslim
inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia
Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan
berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia.[14] Latar sejarah di atas,
dengan tegas menuturkan kepada kita bahwa hadirnya Islam di Indonesia adalah
untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada
tingkat peradaban yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi.
Ikhtiar tersebut sempat
terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada akhir abad ke-16 hingga
pertengahan abad ke-20. Kini bangsa Indonesia, yang mayoritasnya muslim, secara
legal-formal telah dapat memegang kembali kendali atas bumi nusantara dengan
berdirinya Negara Republik Indonesia di atasnya. Namun demikian, apakah semangat
yang dicita-citakan Islam sehingga ia masuk ke bumi nusantara abad ke-13 dan
menjadi media persemaian nasionalisme Indonesia pada permulaan abad ke-20 telah
tercapai ?
Yudi Latif menggambarkan
sejarah HMI dalam kontinuitas sejarah genealogi intelegensia muslim sebagai
suatu blok historis yang memiliki peranan penting dalam kesejarahan Indonesia
khususnya sejak awal abad ke-20. Sehingga tidak berlebihan bila HMI kerapkali
mengidentikkan diri sebagai anak kandung umat dan bangsa, serta juga tidak berlebihan
apabila Jenderal Besar Sudirman menyebutkan HMI bukan saja kepanjangan dari
Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan juga Harapan Masyarakat Indonesia. Dalam
perjalanannya, HMI memiliki fase kesejarahannya sendiri dalam interaksinya
dengan umat dan bangsa.
Prof. Dr. H. Agussalim
Sitompul, sejarawan HMI, membagi kesejarahan HMI dalam lima zaman perjalanan
HMI dan 10 fase perjuangan, yakni, pertama, zaman perang kemerdekaan dan masa
kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi dalam fase konsolidasi spiritual dan proses
berdirinya HMI (November 1946-5 Februari 1947), fase berdiri dan pengokohan (5
Februari-30 November 1947), dan fase perjuangan bersenjata dan perang
kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan dan pemberontakan PKI I (1947-1949).
Kedua, zaman liberal (1950-1959).
Pada masa ini HMI sibuk
membina dan membangun dirinya sehingga menjadi organisasi yang solid dan tumbuh
membesar. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman Orde Lama (1950-1965). Zaman ini
dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963),
dan fase tantangan I (1964-1965). Pada fase tantangan I, HMI menghadapi upaya
pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapi HMI dengan
strategi PKI (Pengamanan, Konsolidasi, dan Integrasi). Pada masa ini juga Ketua
HMI, Mar’ie Muhammad pada 25 Oktober 1965 berinisiatif mendirikan KAMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
Keempat, zaman Orde Baru
(1966-1998). Zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang
Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase partisipasi HMI
dalam pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran
(1970-1998) yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI
ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik ”Keharusan Pembaruan
Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970 di Taman Ismail
Marzuki. Kelima, zaman reformasi (1998 – sekarang). Zaman ini dibagi dalam fase
reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II (2000-sekarang). Dalam fase
tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa
musibah dan HMI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik
internal yang ditingkat PB HMI sempat menimbulkan dua kali dualisme
kepemimpinan. [15]
Dalam mengenali kesejarahan
HMI misalkan juga ditampilkan dalam pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik
utama dari tahun-tahun kesejarahan HMI.[16] Dalam perspektif kesejarahan ini,
tahun 1947-1960an merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan
keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan
eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya
menggugat dan menghancurkannya.
Pada masa ini, HMI
dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis
Indonesia. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini dihasrati
oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas kemandekan berpikir
dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai muncul tahun 1960-an
akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam
yang sangat menonjol dengan icon utamanya Nurcholish Madjid (alm). Meski
gelombang intelektualisme ini terus berkembang dan bermetamorfosa di luar HMI,
namun di dalam HMI, gelombang ini segera digantikan dengan ‘gelombang
politisme’.
Gelombang politisme
mengusung dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh
dan aktivis HMI. Gelombang ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh
penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut membekas
sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara.
Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada
gelombang berikutnya, yaitu ‘gelombang beku’ (freezed) di akhir tahun 1990-an
hingga saat ini.
Gelombang beku ditandai
dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung
dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran
bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif,
dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga
mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal
ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku
merupakan titik nadir dari produk gelombang politisme.
HMI telah mengakumulasi
fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya selama 60 tahun. Fakta-fakta
sosial dan pengetahuan tersebut –-dalam perspektif arkeologi pengetahuan Michel
Foucault— membentuk suatu sistem pengetahuan tersendiri melalui proses
diskursif yang rumit dimana terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi
wacana di dalamnya. Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial
dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan
menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi
“pecundang” dan terpinggirkan.
Oleh karena itu, dalam
wacana keagamaan di HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses
diskursif nampaknya memenangkan wacana keagamaan yang berwatak
modern-moderat-inklusif dan wacana keagamaan lain seperti yang tradisional-radikal-eksklusif
menjadi pecundang. Proses diskursif juga nampaknya kini telah memenangkan
kerangka berpikir political oriented dan menyisihkan kerangka berpikir
berorientasi keilmuan dan profesi. Kemudian, dalam political oriented, yang
dominan bukan yang mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan
yang mengedepankan jabatan politik atau politik struktural.[17] Pemaparan
beberapa perspektif dalam mengenali sejarah HMI di atas menjelaskan beberapa
hal:
Pertama, HMI telah berhasil
meletakkan dirinya dalam kanvas kesejarahan Indonesia dan umat Islam di
Indonesia sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Indonesia
dan umat Islam di Indonesia. Hal ini tentu saja disebabkan karena sikap HMI
yang memandang Indonesia dan Islam sebagai satu kesatuan integratif yang tidak
perlu dipertentangkan.[18]
Kedua, karakteristik
perilaku interaksi HMI dengan umat dan bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh
kondisi sosial-politik yang terjadi pada umat dan bangsa, utamanya dalam
konteks bernegara.
Ketiga, dalam interaksinya
tersebut, HMI coba bersikap kooperatif terhadap arus dominan dengan tetap
menjaga identitas dirinya yang pokok.
Keempat, sejarah HMI adalah
sejarah panjang yang didalamnya terdapat dinamika internal HMI yang sangat dinamis,
kaya, dan rumit. Sehingga corak dominan yang tampil pada merupakan produk
seleksi wacana yang bersifat temporer dan akan segera digantikan oleh corak
yang lain apabila tidak ”pintar” mempertahankan diri di tengah pertarungan
wacana yang dinamis, kaya, dan rumit tersebut.
[1] Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (Th 1947-1975), Penerbit
Bina Ilmu, Surabaya, 1976, hal 13.
[2] MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 cet II, penerjemah
Satrio Wahono dkk, Serambi, Jakarta, 2005, hal 28.
[3] Sebagian pemikiran-pemikiran dari tulisan mereka dapat dibaca dalam
Nurcholish Madjid (editor), Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1994.
[4] Karena telah mapan, maka tanda-tanda kemundurannya sudah mulai
nampak. Ajaran Islam yang telah mapan tersebut masuk melalui daerah pantai yang
merupakan pusat perdagangan. Namun demikian, Islam di Jawa baru berkembang
setelah jatuhnya Majapahit pada tahun 1478 (berdiri 1294 M), hampir bersamaan
dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Malaka ketika itu
merupakan pelabuhan dan pusat perdagangan besar yang dikuasai Islam. Dengan
demikian, Islam (terutama di Jawa) baru dapat berkembang di bumi nusantara
justru ketika dunia Islam mulai kehilangan dominasi peradabannya di dunia
global.
[5] Dalam Prakata pertama buku tersebut, 1981, Ricklefs menulis, ”Dalam
pandangan saya, periode sejak tahun ±1300 telah menjadi unit sejarah yang padu,
yang dalam buku ini disebut Sejarah Indonesia Modern.” Op. Cit., hal 14. Perlu
diketahui bahwa versi awal buku ini memang mencantumkan periode sejarah
Indonesia modern dimulai tahun ±1300, sebelum kemudian direvisi pada edisi
ketiga tahun 2001 setelah ditemukannya nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin
al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M. Di bagian I buku tersebut, Ricklefs
memberikan judul ‘Lahirnya Zaman Modern’.
[6] MC Ricklefs, Ibid, hal 81.
[6] MC Ricklefs, Ibid, hal 81.
[7] Kondisi ini menyebabkan Islam tidak memiliki momentum yang cukup
untuk mengembangkan peradabannya di bumi nusantara.
[8] Dinamika internal yang dimaksud adalah konflik kekuasaan (suksesi
kepemimpinan) diinternal kerajaan dan persaingan diantara kerajaan-kerajaan
tersebut yang kemudian membuat diantara mereka harus bersekutu dengan VOC untuk
memperoleh bantuan. Contoh paling nyata dalam hal ini adalah persaingan antara
Ternate dan Tidore yang menyebabkan keduanya pernah bersekutu dengan VOC untuk
menaklukkan saingannya. Jadi, dalam hal ini konflik internal bersifat
kontraproduktif.
[9] Menurut Nurcholish Madjid, pengabdian yang dicurahkan untuk berjuang
melawan orang-orang Barat (selain Belanda, muslim di bumi nusantara juga pernah
berhadapan dengan Portugis dan Inggris –penulis) yang muncul dalam semangat
antikolonialisme dan antiimperialisme. Hampir semua pemberontakan dipimpin oleh
ulama atau sultan. Tetapi, harga yang kemudian harus ditebus ternyata luar
biasa mahal. Yaitu, bahwa umat Islam Indonesia selama ratusan tahun terbiasa
hanya berpikir reaktif dan bersikap fight against, yakni berjuang untuk
melawan, melawan, dan melawan, karena memang kondisinya seperti itu. Inilah
yang menyebabkan mengapa umat Islam sampai sekarang masih relatif belum sampai
kepada sikap fight for (pro aktif, membangun –penulis). Tentu, ada beberapa
pengecualian. Misalnya, mereka yang berusaha membangun ekonomi. Nurcholish
memandang hal ini sebagai salah satu faktor yang membuat umat Islam di
Indonesia belum sempat menciptakan peradaban yang berarti karena
persoalan-persoalan yang menyerap hamper seluruh energi tersebut. Lihat, Budhy
Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas
Peradaban, Jakarta, Mizan, 2006, hal 1198-1200.
[10] Itu pun dengan catatan bahwa pendidikan sebagai buah politik etis
pada umumnya hanya dapat dinikmati oleh kalangan pribumi-priyayi (bangsawan).
[11] George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik
Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Nationalism and Revolution in
Indonesia), Penerjemah Nik Bakdi Soemanto, Pustaka Sinar Harapan dan UNS-Press,
Solo, 1995, hal 59.
[12] Ibid, Hal 58
[13] Peran agama Islam dalam menumbuhkan nasionalisme Indonesia akhirnya
mengejawantah ke dalam pergerakan kebangsaan Indonesia pertama yang kuat, yaitu
Sarekat Islam. Ibid, hal 64.
[14] Lihat Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi
Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX, Mizan, Bandung, 2005.
[15] Lihat, Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Mendiagnosa Lima Zaman
Perjalanan HMI (Suatu Tinjauan Historis dan Kritis Fase-Fase Perjuangan HMI),
makalah LK II HMI Cabang Tanjung Pinang Kepulauan Riau,Tanjung Pinang , 14
Maret 2007. Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam Agussalim Sitompul,
Historiografi HMI Tahun 1947-1993, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1995.
[16] Pendekatan gelombang ini tidak begitu jelas siapa yang pertama kali
melontarkan. Secara teks, penulis menemukan pendekatan gelombang ini dalam
tulisan Zulfikar Arse Sadikin, Membangun Gelombang Baru HMI: Epistemic
Community, Centre of Zulfikar Information, Yogyakarta, 2006; dan dalam teks
Pidato Ketua Umum PB HMI pada Dies Natalis HMI ke-60 M, 5 Februari 2007.
[17] Perspektif gelombang sejarah HMI dan penggunaan metode arkeologi
pengetahuan dalam membaca sejarah HMI dapat dilihat di Pidato Ketua Umum PB HMI
pada Dies Natalis HMI ke-60, 5 Februari 2007. Pendekatan arkeologi pengetahuan
juga digunakan dalam penjelasan tema Kongres XXV HMI Februari 2006 di Makassar.
[18] Pandangan ini harus dipertahankan disamping karena faktor
kesejarahan sebagaimana dipaparkan di atas, melainkan juga karena kita harus
waspada terhadap upaya yang hendak memperkecil arti kehadiran Islam di
Indonesia yang merupakan praktek kaum penjajah (Kristen). Di kalangan penginjil
Kristen di Indonesia, menurut Karel Steenbrink sebagaimana dikuti Nurcholish
Madjid, menerapkan strategi memisahkan Islam dari orang Jawa khususnya dan
orang Indonesia umumnya, dengan membangun gambaran seolah-olah Islam di Jawa
dan di Indonesia ini tidak ada artinya, dan seolah-olah budaya Jawa dan budaya
asli Indonesia lainnya adalah lebih penting. Dengan kata lain, strategi mereka
ialah menekankan pemisahan antara keduanya itu dan menegaskan kenyataan bahwa
Islam bukanlah aspek yang esensial dalam budaya Jawa. Lihat Budhy
Munawar-Rachman, Op. Cit., hal 1193-1195.
Comments
Post a Comment