SILSILAH TAROMBO MARGA SIREGAR.

Sejarah BATANG TORU (4): Industri Perkebunan di Tapanuli Dimulai di Batang Toru, Bermunculan Orang Kaya Baru

Perkebunan kopi dan nenas di Batang Toru
Pembangunan jembatan Batang Toru adalah suatu prestasi pemerintah kolonial di Nederlandsch Indie. Berita ini sudah tersiar jauh hingga ke Eropa khususnya Nederland. Bahkan jembatan Batang Toru ini mendapat sambutan dalam suatu pameran di Amsterdam dimana jembatan lama dari rotan disandingkan dengan jembatan baru dari baja (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 24-08-1886). Sang arsitek mendapat apresiasi sebagaimana dilaporkan oleh Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1884: ‘Gubernur Jenderal di Batavia memuji hasil kerja Eisses dan diberi cuti selama dua bulan ke Eropa’.

Ketika jembatan Batang Toru selesai dibangun (1883), di atasnya sudah makin sibuk gerobak-gerobak pedati yang datang dari Angkola dengan muatan yang berisi kopi. Kopi-kopi ini diteruskan ke pelabuhan Loemoet dan kemudian dikumpulkan di pelabuhan Djaga-Djaga sebelum diangkut dengan kapal ke Padang. Sementara pada masa ini pelabuhan Baros masih aktif menampung komoditi ekspor lainnya utamanya kamper. Para pedagang dari Angkola (termasuk Batang Toru) membawa dagangan kamper dalam keranjang rotan dengan tangkai bamboo di pundak. Dalam skala besar pedagang Tionghoa meneruskan ke Singapura lalu diekspor ke Tiongkok (utamanya keperluan balsam bagi orang yang meninggal). Dari Baros para pedagang membawa garam dan produk lainnya untuk diperdagangkan di Batang Toru dan Angkola (Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 22-02-1881). 

Namun diantara puja puji yang dialamatkan terhadap jembatan Batang Toru dan kepada arsitek Eisses, juga ada kritik yang dilancarkan, terutama ditujukan terhadap jembatan Batang Toru. Orang-orang yang kritik di satu sisi menganggap jembatan itu indah dan meski telah menelan biaya yang sangat fantastis tapi itu sepadan. Mereka menyoroti bahwa biaya yang sangat besar itu menganggap terlalu tinggi buat menghubungkan Sibolga dan Angkola. Ini dianggap taruhan pemerintah ‘membuang biaya besar’ dan merugikan (tidak sebanding pengeluaran dengan pendapatan yang diharapkan). Kendaraan yang melintas di atas jembatan hanya pedati dan masih lebih efisien dengan menyewa angkutan kuda yang hanya f2 per pikul. Memang harga kopi (Angkola dan Sipirok) terus meningkat tetapi apakah biaya investasi jembatan akan kembali dalam 40 tahun? Demikian para pengkritik (lihat juga Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 24-08-1886).

Tragedi Kuli Kontrak Juga Terjadi di Batang Toru, Mirip Poenale Sanctie di Deli


Koran Sinar Merdeka terbit di Padang Sidempuan (1919)
Pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Residentie Tapanoeli dibentuk tahun 1840 yang kali itu masih terdiri dari dua afdeeling: Afd. Mandheling en Ankola dan Afd. Tapanoeli (kemudian berganti nama Afd. Sibolga en Ommelanden). Pada awalnya Batang Toru masuk Afd. Mandheling en Ankola tetapi kemudian dipisahkan dan ditambahkan ke afd. Sibolga en Ommelanden (namanya kemudian bergeser menjadi Sibolga en Batang Toru distrtict). Hingga kini (1900), meski secara geografis, social, ekonomi dan budaya sama dengan Angkola, district Batang Toru secara administrative masih dipisahkan dengan Afd. Mandheling en Ankola.

Sementara itu, pada masa ini (1900) Residentie Sumatra’s Oostkust masih meliputi Bengkalis. Awalnya ibukota berada di Bengkalis, tetapi sejak 1887 ibukota dipindahkan ke Medan (Deli). Hal ini terkait dengan semakin berkembangnya industry perkebunan di Deli dan sekitarnya. Industri perkebunan di Sumatra’s Oostkust khususnya di Deli secara legal formal baru dimulai 1869 dengan didirikannya Deli Mij, meski sudah sejak tahun 1865 Nienhuys memulai usaha perkebunan tembakau Deli.  Kini (1901), setelah 30 tahun, industri perkebunan baru dimulai di Tapanoeli oleh WJJ Kehlenbrink. Lokasi industri perkebunan pertama yang dipilih berada di koeria Loemoet, distrik Batang Toru seluas 6.000 bau dengan konsesi selama 75 tahun.

Sesungguhnya inisiatif membangunan industri perkebunan lebih awal di Tapanoeli (tepatnya di Mandheling en Ankola) daripada di Deli. Namun inisiatif itu tidak berlanjut, karena penduduk enggan melepaskan lahan yang ‘menganggur’ untuk dikontrak sebagai konsesi perkebunan. Padahal para kreditur sudah menawarkan dana investasi hingga ke Mandailing. Alasan lainnya diduga karena pemerintah masih memiliki kepentingan dalam urusan koffiestelsel. Akibatnya industry perkebunan di Tapanoeli kala itu seakan ‘layu sebelum berkembang’.

Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-04-1858 (iklan): ‘Di Jawa Courant hari ini disebut debitur dan kreditur untuk perkebunan berikut: Agen Sumatra di wilayah estate Mandheling, Elphianus Louis Snackey’. Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-01-1859: ‘berdasar laporan W.A. Henny, Controleur di Ankola en Sipirok, bahwa, di afdeeling Mandheling en Ankola, dalam koffijcultuur (tanam paksa dibiayai pemerintah), hasil penanaman kopi adalah sebagai berikut: Pada tahun 1853, satu pikol kopi dihasilkan dari 161 pohon, 1854 (157), 1655 (93), 1856 (159), 1857 (110)

Kini di awal abad ke-20, industri perkebunan di Sumatra’s Oostkust meluber. Lahan-lahan yang potensial untuk perkebunan mulai dari Langkat hingga Asahan telah habis dibagi menjadi konsesi bahkan hingga ke Laboehan Batoe. Ekspansi perkebunan oleh para planter di Sumatra’s Oostkust melihat Tapanoeli adalah salah satu daerah perkebunan yang memiliki prospek. Sejak WJJ Kehlenbrink membuka perkebunan tahun 1901, secara sporadic sudah timbul perkebunan-perkebunan (onderneming) di berbagai tempat di Tapanoeli. Distrik Batang Toru dalam industrialisasi perkebunan di Tapanoeli memiliki posisi strategis.

Batang Toru (Kembali) Menjadi Bagian dari Afdeeling Padang Sidempuan, Perkebunan Karet Meluas Hingga ke Pijor Koling



Sambut Gubernur Jenderal de Graeff di Padang Sidempuan, 1928
Batang Toru tidak hanya ‘menjembatani’ Padang Sidempuan dan Sibolga, tetapi Batang Toru juga telah menjadi pusat industri perkebunan di Tapanoeli. Hingga bulan Mei 1919 jumlah perusahaan perkebunan (onderneming) sudah mencapai angka 30 buah perusahaan di Tapanoeli dimana sebagian besar berlokasi di Batang Toru. Sebagian yang lain sudah ada yang membuka plantation di Angkola seperti di Simarpinggan dan di Pijorkoling (De Sumatra post, 29-04-1919). Perkebunan-perkebunan ini umumnya fokus mengusahakan tanaman karet.

Sehubungan dengan semakin berkembangnya koridor Sibolga-Batang Toru dan Angkola di bidang perkebunan, memungkinkan untuk wacana meningkatkan arus barang dan orang dengan menambah moda transportasi kereta api. Usulan ini sudah masuk ke Dewan di Batavia. Dulu pembangunan jembatan Batang Toru dikritik, lalu industri perkebunan di Batang Toru menjawabnya. Kini, usulan pembangunan transportasi kereta api apakah akan disetujui dewan? Kita lihat saja nanti.

Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 23-12-1919 (Anggaran): ‘..Item berikutnya adalah pengaturan pengeluaran Nederlandsch-Indie untuk tahun 1920, dalam mendukung pembangunan kreta api di Noord  Cheribon dari Tjiteureup ke Madjalaja (Preanger Regency) dan Sibolga via Batang Taroe ke Padang Sidempoean (Tapanoeli).

Industrialisasi perkebunan di Batang Toru, juga menyebabkan jumlah orang Eropa semakin bertambah di Batang Toru. Kini controleur LCJ Rijsdijk tidak sendirian lagi di Batang Toru sebagaimana pernah dialami koleganya, controleur Batang Toru yang pertama) Orang Eropa ini terdiri dari berbagai bangsa seperti Swis, Jerman, tentu saja Belanda dan lain sebagainya. Mereka ini umumnya para planter ditambah dengan pegawai pemerintah yang secara social tergabung dalam suatu klub atau perkumpulan sosial. Klub Batang Toru ini memiliki cabang olahraga terkenal yakni panahan dan menembak. Jumlah peminat menembak sebanyak 40 orang yang merupakan 75 persen dari anggota klub. Banyaknya peminat menembak ini, klub terpaksa membuat dua tim yang diberi nama brigade „boven de brug" dan brigade „beneden de brug" (lihat De Sumatra post, 10-02-1920).


Sebagaiman Residentie Tapanoeli yang sudah mulai terhubung dengan Sumatra’s Ooskust, maka para planter dan penduduk (seperti Angkola dan Batang Toru) akan semakin dekat dengan kota Medan. Selama ini untuk ke Medan harus melalui Batavia dengan kapal. Dengan adanya layanan umum trayek Medan-Padang maka perjalanan coast to coast (east-west) akan semakin banyak penduduk, wisatawan, pemerintah dan para planter yang singgah di Sibolga, Batang Toru, Padang Sidempuan dan Kotanopan (tempat-tempat ini terdapat pesanggrahan).



De Sumatra post, 02-03-1920: ‘Aneta melaporkan pada pembukaan layanan mobil (trayek) antara Medan dan Padang. Dari Medan ke Pematang Siantar lalu Prapat. Di kota wisata ini mobil harus dinaikkan ke kapal (RotterJamschen Lloyd) melalui danau Toba ke Balige (bisa menampung dua mobil) selama dua jam. Lalu dari Balige dilanjutkan ke Sibolga (terdapat hotel). Selain di Batang Toru dan Padang Sidempuan juga terdapat pesanggrahan yang memadai di Kotanopan. Kemudian perjalanan menuju Fort de Kock (terdapat hotel) dan selanjutnya ke Padang. Seluruh jarak 900 Km dan sekarang harga relatif rendah (jika dibandingkan lewat Batavia). Untuk wisata Medan-Padang sebesar f230 ditambah biaya akomodasi sekitar f100, sehingga secara total pp f550, salah satu wisata terbaik di Nederlandsch Indie. Resident Tapanoelie, Mr. Vorstman, secara khusus menyambut baik untuk layanan baru ini. Meski perjalanan yang sangat panjang namun sangat baik. Selama diperjalanan harus tetap hati-hati karena jumlah tikungan termasuk banyak tikungan tajam bahkan antara Balige dan Sibolga jumlahnya mencapai 1700 buah. Terdapat pesanggrahan di Onan-Dolok, KM 104. Pengemudi harus menghentikan di sini dan penumpang bisa turun dan jalan setapak ke titik dimana salah satu yang yang menakjubkan terlihat indah di seluruh Teluk Tapanoelie. Di Sibolga terdapat hotel yang baik dengan tariff f50 per tempat tidur. Lalu jarak dari Sibolga ke Kotanopan adalah 205 Km yang mana sampai Batang Taroe jalan baik seperti datar dan memberikan pemandangan laut. Kemudian naik turun hingga ke Padang Sidempoean jalan yang kurang bagus, tapi masih memadai. Kemudian harus turun kembali ke Kotanopan. Di sini terdapat pesanggrahan dengan 4 kamar tidur. Kota ini sendiri sangat kecil. Controller adalah satu-satunya orang Eropa. Lalu dilanjutkan ke Fort de Kock (hotel yang sangat sangat baik serta kamar dan meja yang sangat baik). Iklim yang sejuk dan alam yang cantik. Selanjutnya ke Padang dalam dengan panorama sepanjang jalan. Inilah wisata terbaik di Sumatra jika perjalanan dilakukan  dengan mobil. Seluruh perjalanan akan tampak seperti mimpi’.



Keutamaan Batang Toru di Tapanoeli tidak hanya keindahan jembatannya tetapi juga Batang Toru adalah pusat industri perkebunan di Tapanoeli. Batang Toru merupakan pionir dalam perkebunan karet dimana sebelumnya perkebunan di Batang Toru dan sekitarnya masih membudidayakan kopi dan tanaman-tanaman ekspor lainnya. Oderneming Hapesong  dan Batang Toru adalah yang tertua (sejak 1908) untuk perkebunan karet. Perusahaan-perusahaan yang berbasis di Batang Toru juga adalah perusahaan-perusahaan besar.



Nieuwe Rotterdamsche Courant, 04-07-1920: ‘perkebunan karet di Tapanoeli tertua  pertama kali dibuka di Hapesong dan Batang Taroe. Perkebunan ini awalnya mengusahakan kelapa dan kopi. Perkebunan yang berada di jalan pos Padang Sidempuan-Sibolga ini berpusat di Batang Toru. Himpunan pengusaha karet Tapanoeli Plantersvereeniging berada di Batang Toru. Perusahaan-perusahaan besar antara lain: NV de Caoutschouo Plantage Mij, Tapanoeli; NV. Sumatra Caoutschouo Plantage Mij, Rotterdam Tapanoeli C. Mij, Sibolga Caoutschouo Plantage Mij, Amsterdam Tapanoeli Rubber Cy, Tapanoeli Mij. Produk perkebunan ini diangkut ke Sibolga dengan pedati dan truk. Setelah selesai kereta api Tapanoeli maka akan memiliki lebih banyak moda transportasi’.



Masa-masa keuntungan perkebunan karet di Batang Toru dan sekitarnya sebenarnya belum lama dicapai hingga datangnya resesi ekonomi (malaise). Seperti dilaporkan De Sumatra post, 03-04-1922 bahwa malaise juga melanda perkebunan-perkebunan pantai barat. Perusahaan harus melakukan pemotongan di sana sini seperti bonus tidak dijanjikan lagi. Satu perusahaan dekat Padang Sidempuan (Pijorkoling atau Simarpinggan?) terpaksa melakukan PHK terhadap administraturnya. Meski demikian, beberapa kebun masih mempekerjakan para asisten dan administraturnya dan kadang-kadang harus mengurangi lebih dari separuhnya.

Di sisi pemerintah juga melakukan penyesuaian terhadap semua mata anggaran akibat adanya malaise ini. Untuk beberapa daerah terjadi pengurangan anggaran. Namun untuk pembangunan di Batang Toru juga terkena dampak serius dimana anggaran untuk pembangunan jalan kereta api untuk tahun anggaran 1923 ditiadakan. Ini sudah mulai tanda-tanda kemunduran dari kegiatan-kegiatan persiapan pembangunan keretapi api Sibolga Padang Sidempuan yang telah memulai kegiatan studi dan pengukuran. Selain ruas Sibolga-Padang Sidempuan, juga yang mengalami nasib yang sama adalah SW Sulawesi, Noord Cheribon, Ratja Ekek, Citali dan Sumedang dan Garut Tjkadjang. Ini dimaksudkan untuk upaya penghematan tahun 1923 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 19-05-1922).

Dampak berkelanjutan dari malaise adalah bahwa beberapa perusahaan mengalami bangkrut. Beberapa perusahaan harus mengalihkan perusahaan atau plantation kepada perusahaan lain atau investor baru. Hal ini diantaranya yang terjadi ketika onderneming Pandoeroengan milik NV Holand Tapanoeli Cultuur Mij harus mengalihkan kepada NV Amsterdam Tapanoeli Rubber Cultuur Mij (lihat De Sumatra post, 17-09-1925). Pengaruh krisis (malaise) juga terasa dalam berbagai aspek pembangunan. Boleh jadi dalam hal ini pemerintah pusat di Batavia merasa perlu untuk membentuk dewan di beberapa daerah tertentu agar pembangunan terus berjalan. Berdasarkan keputusan Departemen Civiel tanggal 17 Agustus 1926 di onderafdeeling Ankola en Sipirok dibentuk Gewestelijke en Plaatselijke Baden (semacam dewan) yang anggotanya mewakili berbagai golongan.
Bataviaasch nieuwsblad, 20-08-1926: ‘Gewestelijke en Plaatselijke Baden. Pada tanggal 17 Agustus 1926 diangkat menjadi anggota plaatselijken raad di ondcrafdeeling Angkola en Sipirok: golongan Belanda, G.H. van Nie1, adm. der onderneming Simarpinggan dan S. Radersma, adm. der onderneming Sigalagala; golongan penduduk lokal, Ma'moer Al Rasjid (Nasoetion), dokter di Padang Sidempoean, Peter Tamboenan, zendelingleeraar di Sipirok, Mangaradja Goenoeng, pedagang di Padang Sidimpoean, MJ Soetan Naga, pedagang di Batang Toroe; Dja Saridin, pedagang di Batang Toroe,  Soetan Josia Diapari, pedagang di Padang Sidempoean, Mangaradja Dori, pedagang di Padang Sidimpoean, Dja Oloan, pedagang di Padang Sidempoean dan Hadji Mohamad Thaib, pedagang di Padang Sidcmpoean; golongan timur asing, Kim Hong Boh, pedagang di Padang Sidempoean.
Pada tahun 1928 diangkat anggota dewan (menambhakan atau mengganti?) yakni JW Metz, wd. Administratour dari Sumatra Caoutehoue Plantage Maatshappij di Batang Toroe. Sementara itu, banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi dampak malaise, misalnya departemen keuangan membuka kantor pegadaian antara lain di Padang Sidempoean, Batang Taroe. Sibolga. Baroes. Taroetoong. Balige, Telokdalum. Goenoengsitoli en Poelau Tello (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 02-12-1928). Sementara itu untuk membangkitkan semangat berusaha di kalangan para planter pengurus De V.v.A.I. D juga melakukan kunjungan kepada para planter di Batang Toru.

De Sumatra post, 12-09-1929 Sekretaris-bendahara De V.v.A.I. D., Mr. de Ruyter, Senin malam di klub Batang Taroe yang dihadiri sekitar 50 pekebun dari Tapanoeli, antara lain beberapa administrator, mengadakan ceramah tentang perkembangan ekonomi secara umum dan serikat perdagangan, sambil menunjukkan manfaat sosial dari gerakan serikat buruh. Beberapa pekebun hanya mengirim perwakilan untuk menghadiri’.

Meski resesi terjadi, seorang anak Batang Toru tidak harus patah semangat untuk memasuki perguruan tinggi. Pada tahun 1931 Parlindoengan Loebis lulus ujian masuk Geneeskundige Hoogeschool di Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 18-12-1931). Pada tahun 1934 di Batang Toru dikabarkan telah meninggal seorang dokter terkenal Dr. P. Thoden van Velzen (54 tahun). P. Thoden van Velzen dokter dari Central Hospitaar dari Tapanoeli pelayanan rumah sakit Soemoeran dekat Batang Taroe. Sebuah prosesi besar 20 mobil mulai bergerak ke pemakaman, yang terletak di onderneming Batang Toru milik NV. Sumatra Caoutchouc Plantage Maatschappij. Selain warga Tapanoeli, de resident van Tapanoeli, de controleur en gezaghebber van Padang Sidempoean, vele inwoners van Sibolga en Padangsidempoean, waren alle in Tapanoeli wonende planters met hunne dames aanwezig (De Indische courant, 18-09-1934). Juga dikabarkan bahwa seorang administrator perkebunan meninggal dunia bernama Assad Feller seorang Swiss yang bekerja di Pidjor Koling sebagai administrateur der Sumatra Caoutchouc Plantage Maatschappij. Dimakamkan di Batang Toeu (De Sumatra post, 11-03-1935).


Agresi Militer Belanda di Afdeeling Padang Sidempuan, Motif Pengamanan Industri Perkebunan




Jembatan Batang Toru: semasa agresi militer Belanda
Batang Toru, pelan tapi pasti hingga tahun 1939 telah menjadi salah satu kota penting di Tapanoeli. Keutamaan Batang Toru timbul karena pengaruh industri perkebunan dan kehadiran orang-orang Eropa/Belanda. Posisi strategis Batang Toru yang berada diantara dua kota besar (Padang Sidempuan dan Sibolga) juga memperkuat positioning Batang Toru sebagai sebuah kota penting. Batang Toru telah melampaui keutamaan kota Sipirok dan kota Panjaboengan. Kota Batang Toru tumbuh dan berkembang dan akan menjadi kota masa depan seperti halnya Medan, Bindjai dan Pematang Siantar (berada di tengah/pusat industri perkebunan). Kota Batang Toru menjadi salah satu dari empat kota di Tapanoeli yang akan membentuk pasukan sukarela yang akan berfungsi sebagai penjaga kota.

De Sumatra post, 10-09-1940: ‘dalam suatu pertemuan besar korps sukarela di lapangan Sibolga pada tanggal 3 September diputuskan untuk membentuk VKT (Vrijwilligers Korps Tapanocli=Korp Sukarela Tapanuli), yang terdiri dari orang Belanda, pribumi dan Tionghoa. Pembentukan ini diharapkan terjadi di Sibolga, Batang Toru, Tarutung dan Padang Sidempuan.

Pada tanggal 19 April 1941, VKT secara resmi diinstal sebagai bagian dari penjaga kota (lihat Soerabaijasch handelsblad, 28-04-1941). Ini dengan sendirinya akan memperkuat ketahanan masyarakat Tapanuli yang didukung oleh het VOC Batang Taroe dan brigade van het detachement Sibolga. Hari itu juga dilakukan defile barisan dari korps yang di bentuk dimana di tribun para undangan yang hadir. Residen berpidato dimana diingatkannya bahwa pada tanggal 10 Mei 1840 pasukan Belanda mulai ditempatkan di Sibolga. Dinyatakannya bahwa ini saatnya korps sukarela mengambil posisi strategis utamanya dalam pelestarian hukum dan ketertiban. Lalu Komandan Territorial Tapanoeli (berpangkat luitenant colonel) berpidato yang intinya bahwa VKT adalah bagian kehormatan dari KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger). Residen dan komandan meninggalkan lapangan, barisan melakukan defile dalam kota yang diakhirnya di rumah Residen dengan suatu perjamuan.

Situasi dan kondisi ini menunjukkan bahwa di Tapanoeli sudah mulai kondusif, para tentara mulai mundur ke markas-markas, para korps sukarela akan memainkan peran yang penting dalam ketertiban dan penerapan hokum dalam mewujudkan tupoksi pemerintahan sipil yang efektif. Yang lebih penting, pelibatan penduduk pribumi sebagai bagian dari korps sukarela mengindikasikan bahwa suasana pemerintahan colonial sudah mengerucut (bergeser menjadi) ke pembentukan civil society (suatu negara berdaulat) yang lepas dari negara induknya, Nederland. Itulah Nederlandsch Indie, dimana Residentie Tapenoeli sebagai bagiannya, dan kota Batang Toru sebagai salah satu dari berbagai kota yang akan menjadi simpul masyarakat sipil. Batang Toru telah sampai ke suatu akhir perjalanan yang panjang, sejak era Hindu (komoditi kamper dan kemenyan) hingga era industry (perkebunan karet).

Pendudukan Jepang di Tapanuli

Sebagaimana kota-kota lain di Nederlandsch Indie (termasuk Batang Toru) mulai lepas landas dalam peradaban sipil, tiba-tiba (disadari atau tidak disadari) suasana berubah drastic 180 derajat. Berita tentang invasi Jepang sudah menduduki tempat-tempat strategis membuat semuanya panic, pemerintah dan militer menjadi gamang, masyarakat (Eropa/Belanda, Tionghoa dan Timur asing serta penduduk pribumi) yang baru merasakan arti kehidupan sipil mulai tertekan dengan perang yang sudah di depan mata.

Serdadu Jepang sudah mendarat di Laboehan Bilik dan serdadu Jepang sudah mendarat di timur Batavia. Serdadu Jepang juga telah menduduki tempat-tempat penting seperti Balikpapan, Palembang dan Riau. Di Tapanoeli, wait and see. Sibolga, Tarutung, Batang Toru dan Padang Sidempuan mulai tidak menentu, bahwa lambat laun serdadu Jepang akan memasuki kota-kota. Dan memang benar, pasukan Jepang telah berada dimana-mana, serdadu-serdadu Jepang dengan cepat memasuki kota-kota penting: Medan, Pematang Siantar, Parapat, Balige, Tarutung, Sibolga, Batang Toru lalu Padang Sidempuan.

Pusat militer Jepang tidak di Sibolga dan juga tidak di Padang Sidempuan (sebagaimana di era Belanda). Kekuatan militer Jepang dipusatkan di Tarutung dan di kota ini pemerintahan militer Jepang mulai membentuk pemerintahan dimana pimpinannya orang Jepang dan wakilnya orang-orang terbaik dari penduduk pribumi. Salah satu putra terbaik Angkola, Abdul Hakim mantan pimpinan kementerian keuangan Nederlandsch Indie di Indonesia Timur yang berkedudukan di Makasar dan kebetulan pulang kampong karena ayahnya meninggal direkrut militer Jepang sebagai ketua dewan Tapanoeli di Tarutung. Fungsi Abdul Hakim adalah untuk mempersiapkan dewan dan menyusun pemerintahan di Tapanoeli.

Di Surabaya, seorang putra terbaik Mandailing, Radjamin Nasoetion diangkat oleh militer Jepang untuk menjabat sebagai wakil walikota Surabaya. Radjamin Nasoetion sebelumnya (di era Belanda) pada tahun 1938 adalah anggota dewan kota (gementeeraad) Surabaya. Posisi dewan kota juga pernah ditempati oleh Abdul Hakim selama tujuh tahun di Medan (sejak 1930). Pada pemerintahan militer Jepang Abdul Hakim menjadi wakil residen Tapenoeli (kelak pada tahun 1952, Abdul Hakim Harahap menjadi gubernur Sumatra Utara yang keempat).  

Bagaimana situasi dan kondisi selama pendudukan Jepang di Batang Toru tidak diketahui secara jelas. Informasi selama pendudukan Jepang sangat terbatas (terpusat), media yang bebas selama era Belanda tidak dirasakan lagi. Bagaimana perkembangan kota Batang Toru dan bagaimana nasib perkebunan-perkebunan karet di Batang Toru dan sekitarnya juga tidak diketahui. Pendudukan Jepang di Tapanoeli dan khususnya di Batang Toru adalah malapetaka. Pendudukan Jepang telah menutup segala pintu informasi tentang Batang Toru. Selama pendudukan Jepang Batang Toru seakan lenyap ditelan bumi.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Comments