SILSILAH TAROMBO MARGA SIREGAR.

Relevansi Pemikiran Gramsci Dalam Membangun Masyrakat Madani





             Antonio Gramsci
 (lahir di AlesItalia22 Januari 1891 – meninggal 27 April 1937 pada umur 46 tahun) adalah filsuf Italia, penulis, dan teoritikus politik. Anggota pendiri dan pernah menjadi pemimpin Partai Komunis Italia, Gramsci sempat menjalani pemenjaraan pada masa berkuasanya rezim Fasis Benito Mussolini. Tulisan-tulisannya menitikberatkan pada analisis budaya dan kepemimpinan politik. Ia dianggap sebagai salah satu pemikir orisinal utama dalam tradisi pemikiran Marxis. Ia juga dikenal sebagai penemu konsep hegemoni budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara dalam sebuah masyarakat kapitalisme.

            Hegemoni dalam bahasa Yunani kuno disebut “ eugeminia “, sebagaimana dikemukakan Encyclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara kota secara individual, misalnya yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta Terhadap Negara-negara lain yang sejajar[1].
            Dalam pengertian dijaman ini, hegemoni menunjukan kepemimpinan dari suatu negara tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam negara “pemimpin”.
            Konsep hegemoni Gremasci sebenarnya dapat dielaborasi melalui penjelasannya tentang basis dari supremasi kelas, yakni:
“ supremasi sebuah kelompok mewujudkan dalam dua cara, sebagai “dominasi” dan sebagai “kepeimpinan intelektual dan moral”. Dan diastu pihak, sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk “menghancurkan” atau menundukkan mereka, bahkan mungkin dengan menggunakan kekuatan senjata; dilain pihak, kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok krabat dan sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial dapat dan bahkan harus sudah menerapkan “ kepemimpinan “ sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan (kepemimpinan tersebut merupakan salah satu dari syarat-syarat utama untuk memenangkan kekuasaan semacam itu). Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika dia memperaktekkan keuasaan, tapi bahkan bila dia telah memegang kekuasaan penuh di dalamnya, Ia masih harus terus “ memimpin “ juga[2].
            Dengan kaata lain dalam pandangan Gramsci hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Ada beberapa cara yang diapakai, misalnya melalui institusi yang ada dimasyarakat yang menentukan secara langsung ataupun tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat. Karena itu hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Dalam kontek ini Gramsci merumuskan konsepnya yang merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik, dalam terminologinya “moment”, dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimabang: dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perseorangan, pengaruh dari “roh” ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual dan hal-hal yang menunjukkan pada moral. Hegemoni selalu berhunungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas dikatator[3].
            Artinya dalam posisi ini negara harus bersifat total dalam memebentuk karakter masyrakatnya sesuai dengan nilai-nilai ataupun norma-norma yang menjadi identitas dari bangsa tersebut. Yang pada akhirnya campur tangan yang baik oleh negara akan menjadikan atau dapat membentuk karakter dari masyarakatnya sesuai dengan konsep masyarakat madani yang dicita-citakan dari generasi ke genarasi berikutnya.
            Sedangkan di dalam Islam istilah masyarakat madani, menurut sebagian kalangan, pertama kali dicetuskan oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia[4]. Jika ditelusuri lebih jauh, istilah itu sejatinya berasal dari bahasa Arab dan merupakan terjemahan dari al-mujtama al-madany. Jika demikian, besar kemungkinan bahwa istilah yang dicetuskan oleh Naquib al-Attas diadopsi dari karakteristik masyarakat Islam yang telah diaktualisasikan oleh Rasulullah  di Madinah, yang kemudian disandingkan dengan konteks kekinian. 
Istilah tersebut kemudian diperkenalkan di Indonesia oleh Anwar Ibrahim—yang saat itu menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia—pada Festival Istiqlal September 1995. Dalam ceramahnya, Anwar Ibrahim menjelaskan secara spesifik terkait karakteristik masyarakat madani dalam kehidupan kontemporer, seperti multietnik, kesalingan, dan kesedian untuk saling menghargai dan memahami[5]. Inilah yang kemudian mendorong beberapa kalangan intelektual Muslim Indonesia untuk menelurkan karya-karyanya terkait wacana masyarakat madani. Sebut saja di antaranya adalah Azyumardi Azra dalam bukunya "Menuju Masyarakat madani" (1999) dan Lukman Soetrisno dalam bukunya "Memberdayakan Rakyat dalam Masyarakat Madani" (2000).

Kemudian di dalam ranah pemikiran Islam belakangan ini, substansi, karakteristik, dan orientasi masyarakat madani yang sesungguhnya seperti kehilangan jejak, Menguat dugaan, hal ini memang sengaja dilakukan oleh beberapa kalangan untuk mereduksi nilai-nilai Islam yang ideal. Setidaknya integrasi konsep masyarakat madani terhadap konsep civil society mengindikasikan kalau diskursus tersebut mengalami pembiasan esensi dan proses integrasinya pun cenderung kompulsif. Sehingga tidak ada lagi tumpang-tindih konsepsi yang mengaburkan cara pandang dan pemahaman khalayak terhadap diskursus ini.
            Melalui penjabaran diatas jelaslah dapat dilihat bahwa titik tolak dari konsep Negara dan Hegemoni-nya Gramsci sangat relevan oleh Kosepsi Islam itu sendiri dalam upaya menwujudkan masyarakat madani. Dimana keduanya sangat terfokus pada aspek “moralitas dan intelektualitas”  baik dari sisi bernegara ataupun bermasyarakat dari warganegaranya.
            Baik dalam pemikiran Gramsci ataupun Konsep Islam itu sendiri negara memiliki peran vital dalam melakukan upaya “hegemoni” kepada masyarakat atau warganegaranya. Dimana warganegara tidak diberikan kebebasan mutlak dalam setiap pola interaksi yang dilakukannya, baik itu interaksi sesama masyarakat ataupun interaksi masyarakat dengan negara. Keberadaan negara haruslah selalu ada di dalam setiap sendi kehidupan masyarakatnya. Artinya hal ini harus di mulai dengan peningkatan kualitas dari para pemimpin negara yang nantinya akan menjadi contoh bagi kehidupan masyarakatnya.



[1]Hendarto, Heru, Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci, Jakarta, Gramedia, 1993, hlm. 73
[2]Gramsci, Antonio, Selections From The Prison Notebooks, New York, Quintin Hoare dan Nowell Smith (ed), Interntional Publisher.
[3]Williams, Gwyn A,  The Concept of Egemonia In The Thought of Antonio Gramsci, Journal of the History of Ideas, Vol.21, hlm4.
[4]Hidayat, Mansur, Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani, Jurnal Komunitas, hlm 10.
[5]Hidayat, Mansur, Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani, Jurnal Komunitas, hlm 10.
https://id.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci

Comments